PROBLEMATIKA AT-TA’RIB DALAM BAHASA ARAB FUSHAH (Analisis Linguistik dalam Al-Qur’an)

Oleh: Deni Supriadi, S.S, M.A.
Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Arab (PBA)

PROBLEMATIKA AT-TARIB DALAM BAHASA ARAB FUSHAH (Analisis Linguistik dalam Al-Quran)

ABSTRACT

Arabic is heavily influenced by other languages. The development of science and technology in the West is one of the causes of adapting the Arabic language to new terms contained in the language that carries these new scientific findings. As a result, several Arabic language institutions had to carry out translations, form new terms, absorb them, and then adapt them to Arabic language rules, so that the term at-ta’rib or Arabization was born which had an impact on the emergence of several new model dictionaries in Arabic. In order for Arabic to be able to survive in the era of language competition, and to be able to accommodate new words resulting from advances in science and technology, one of the methods adopted is Arabization. However, what is more of a problem is whether the Al- Qur’an was revealed to Muhammad Rasulullah Salallahu Alaihi Wa Salam. with the Fushah Arabic language which was popular in the Hijaz region at that time, whether or not it used foreign words and what were the views of the ulama regarding at-tarib in the Al-Qur’an.

Keywords: Arabic, At-ta’rib, Ulama views and the Al-Qur’an

ABSTRAK

Bahasa Arab banyak dipengaruhi oleh bahasa-bahasa lain. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Barat menjadi salah satu penyebab penyesuaian bahasa Arab dengan istilah-istilah baru yang dikandung oleh bahasa yang membawa temuan ilmiah baru tersebut. Akibatnya, beberapa lembaga bahasa Arab harus melakukan penerjemahan, membentuk istilah baru, menyerap, kemudian menyesuaikannya dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, sehingga lahirlah istilah at-ta‘rib atau arabisasi yang berdampak pada munculnya beberapa kamus model baru dalam bahasa Arab. Agar bahasa Arab mampu bertahan di era persaingan bahasa, dan agar mampu mengakomodir kata-kata baru yang diakibatkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka salah satu metode yang ditempuh, adalah Arabisasi. Namun, yang lebih menjadi persoalan adalah apakah al-Qur’an yang diwahyukan kepada Muhammad Rasulullah Salallahu Alaihi Wa Salam. dengan bahasa Arab Fushah yang popular di kawasan Hijaz pada waktu itu memakai kata-kata asing juga atau tidak dan bagaimanakah pandangan para ulama mengenai at-tarib dalam al-Quran.

Kata Kunci: Bahasa Arab, At-ta’rib, Pandangan Ulama dan Al-Qur’an

A. PENDAHULUAN

Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa utama dunia. Bahasa Arab diakui sebagai bahasa internasional dan sebagai salah satu bahasa terbesar di dunia. Sebagaimana fungsi bahasa yang utama adalah sebagai alat komunikasi, maka demikian pula yang terjadi dengan bahasa Arab. Bahasa ini dipergunakan oleh bangsa Arab dalam berbagai interaksi. Masyarakat dapat melahirkan bahasa untuk berkomunikasi sehingga menghasilkan bahasa yang beraneka ragam sesuai dengan taraf masyarakat di mana bahasa itu lahir.[1] Dengan demikian, bahasa juga dianggap sebagai makhluk hidup yang dilahirkan, hidup, berketurunan, mati, serta bersentuhan dan bersinggungan dengan bahasa-bahasa lain.[2]

Secara tidak langsung, keadaan bahasa Arab di atas mengindikasikan bahwa bahasa, di manapun berada, juga turut berkembang seiring  berkembangnya  pengguna  bahasa  itu  sendiri. Sebagaimana dinyatakan oleh Ali Abdul Wahid Wafi bahwa perkembangan sebuah bahasa dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adanya pengaruh bahasa lain serta faktor sosial-geografis, seperti budaya, adat-istiadat dan keyakinan masyarakat.[3]

Demikian pula yang terjadi dengan bahasa Arab saat berfungsi sebagai alat komunikasi dalam bidang agama, ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Kemudian bahasa Arab menjadi bahasa resmi (bahasa Arab Fushah[4]) dalam berbagai organisasi yang berkaitan dengan negara-negara Islam dan Arab, seperti Rābitah al-`Ālam al-Islāmy, Organisasi Konferensi Islam (OKI), Liga Arab dan lain-lain[5].

Pada perkembangan selanjutnya, bahasa Arab banyak dipengaruhi oleh bahasa-bahasa lain. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Barat menjadi salah satu penyebab penyesuaian bahasa Arab dengan istilah-istilah baru yang dikandung oleh bahasa yang membawa temuan ilmiah baru tersebut. Akibatnya, beberapa lembaga[6] bahasa Arab harus melakukan penerjemahan, membentuk istilah baru, menyerap, kemudian menyesuaikannya dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, sehingga lahirlah istilah at-ta‘rib atau arabisasi yang berdampak pada munculnya beberapa kamus model baru dalam bahasa Arab.[7]

Munculnya istilah at-ta’rib secara implisit dimulai sejak zaman jahiliyah atau sebelum turunnya al-Qur’an, bahasa Arab telah mengalami at-ta’rib. Hal tersebut dapat dilihat dalam bahasa syair-syair jahiliah. Setelah Islam datang proses at-ta‘rīb ini terus berkembang  sehingga  kosa  kata  bahasa  Asing  tersebut  tidak  hanya  dijumpai dalam bahasa para penyair tetapi dipakai pula oleh para pemimpin, dipakai di rumah dan di pasar bahkan dalam al-Qur’an dan al-Hadits jika ditelusuri lebih jauh terdapat kosa kata yang berasal dari bahasa Asing.[8]

Bahasa Arab lebih banyak lagi menyerap kosa kata dan istilah kontemporer dari dunia Barat yang memang belum ada padanannya dalam bahasa Arab atau dianggap lebih simpel dan lebih praktis. Selain itu, dari sekian banyak ulama klasik yang membahas kata dan istilah dalam bahasa Arab yang memiliki akar kata dari bahasa asing, terlihat tidak ada kesepakatan di antara mereka atas definisi ataupun batasan-batasan apa yang kemudian dikenal dengan istilah at-ta’rib. Ibnu Abbas, sebagai orang yang pertama kali mengkajinya, mengakui bahwa di dalam al-Qur’an pun terdapat at-ta’rib. Hal ini, berlawanan dengan Abu Ubaidah yang menyatakan bahwa al-Qur’an tidak mungkin mengandung kata atau istilah di luar bahasa Arab.

Penelitian tentang Atta’rib ini sudah banyak dilakukan oleh para penulis diantarannya : Hamidah, Marsiah yang berjudul Pembelajaran Maharol Al-Istima’ dengan Memanfaatkan Media You Tube : Prolematika dan Solusi.  Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa Arab IAIN Palangka Raya Vol. 8, No. 2, December 2020, 147-160, Syamsul Hadi yang berjudul Ketentuan Baru dalam Ta’rib: Pembahasan Seputar Perkembangan Mutakhir dalam Bahasa Arab., Jurnal Ilmiah HUMANIORA UGM Volem 14 No.1 (2022) dan Ahmad Tohe, Bahasa Arab Fushah dan Amiyah Serta Problematikanya., Jurnal Ilmiah : Bahasa dan Seni Tahun 33, Nomor 2, Agustus 2005.

Pada penelitian ini penulis membuat rumusan masalah tentang bagaimanakah para ulama klasik dan kontemporer dalam menyikapi problem at-ta’rib ini dan apakah di dalam Al-Qur’an itu ada at-ta’rib?. Adapun penelitian ini bertujuan untuk dapat menghasilkan ketentuan-ketentuan di dalam menentukan dan menjadikan bahasa Asing dalam serapan bahasa Arab fushah dan melihat Bagaimana pandangan para Ulama di dalam menyikapi at-ta’rib dalam Al-Qur’an.

B. Metode penelitian

Maetode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Adapun tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian dengan studi literer/kajian Pustaka yang difokuskan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian. Adapun permasalahan-permasalah yang diamati adalah uraian-uraian mengenai Problematika At-ta’rib dalam Bahasa Arab Fushah. Semua ini bertujuan untuk menggali tentang sikap para ulama dalam menyikapi at-ta’rib pada bahasa Arab Fushah dalam Al-Qur’an.

Perlu dipahami bahwa terdapat perbedaan tentang masalah dalam penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif masalah penelitian yang dipecahkan harus jelas, spesifik, parsial dan tidak berubah. Namun demikian dalam penelitian kualitatif, masalah itu masih bersifat tentatif, oleh karena cakupannnya kompleks, maka masalah dalam penelitian kualitatif dapat berkembang dan berubah tatkala dilakukan suatu penelitian.[9] Hal ini disebabkan karena karakteristik paradigma penelitian kualitatif yang memiliki ciri komplek dan holistik.[10]

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pengertian at-Ta’rib

Menurut al-Suyūţī[11] التعريب adalah:

ما استعملته العرب من الالفاظ المودوعة لمعان في غير لغتها

Artinya: “Lafaz-lafaz  dari  makna  tertentu  yang  dipakai  oleh  orang  Arab  yang bukan berasal   dari bahasanya”.

Menurut Hilāl[12]:

استعمال العرب لألفاظ ذات معنى في غير العربية, بمعنى انهم بدافع الحاجة يقبلون لفظا جديدا بمعناه من لغة اجنبية ويصبح جزء من نظامهم اللغوى الذى يتفاهمونبه

Artinya: “Orang  Arab  menggunakan  lafadz-lafadz  yang  mempunyai  makna  yang tidak terdapat    dalam bahasa Arab, Berdasarkan hal tersebut,   mereka menerima suatu lafadz baru dari     bahasa Asing dan menjadikannya bagian dari sistem bahasa yang mereka pahami”.

At-Ta‘rīb    bisa disepadankan dengan kata“serapan” dalam bahasa Indonesia. Menurut Samsuri serapan adalah “pungutan”, (1987:50) sedangkan Kridalaksana memahami kata serapan dengan istilah “pinjaman” yaitu bunyi, fonem, unsur gramatikal atau unsur leksikal yang diambil dari bahasa lain, (1985:120).

At-Ta‘rīb biasa juga diistilahkan dengan al-Iqtirād . al-Iqtirād berasal dari kata   قرض   berarti “meminjam” dan  اقتراضadalah bentuk masdarnya yang berarti   “pinjaman”,   (Yunus,   1973:337).   Penggunaan   istilah   tersebut   pada dasarnya hanya bertujuan untuk memperluas ruang lingkup dari al-Ta‘rīb. Penyerapan yang hanya terbatas pada tingkatan lafazd atau kosa kata saja itulah yang biasa dikenal dengan at-ta‘rīb, namun jika penyerapan itu mencakup bunyi (fonem), lafadz (kosa kata),  kaedah dan semua pengaruh suatu bahasa terhadap bahasa lain biasa diistilahkan dengan al-Iqtirād, (Rabī„,1976:152).

Berdasarkan  beberapa  defenisi dan pengertian  yang  telah  dikemukakan  di atas maka al-Ta‘rīb dapat diartikan sebagai serapan kosa kata bahasa asing ke dalam bahasa Arab berdasarkan cara-cara tertentu yang ditetapkan oleh orang Arab sendiri.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya At-Ta’rib

Menurut sejarah bahasa, bahasa itu bersifat dinamis. Ia bisa mengalami perubahan akibat adanya hubungan antara satu bahasa dengan bahasa yang lain. Hubungan  antar  kelompok  pemakai  bahasa  tersebut  biasanya  terjadi  karena secara geografi  letak bahasa tersebut berdekatan atau bertetangga, atau adanya hubungan  perdagangan  dan  hubungan  kebudayaan.  Berdasarkan  hal  tersebut muncullah akulturasi bahasa (الاحتكاك اللغوى ).

Bahasa Arab juga mengalami hal tersebut di atas. Sejak zaman jahiliyah mereka mengadakan hubungan dengan bangsa-bangsa yang bertetangga misalnya mereka berhubungan dengan orang-orang Arāmī dan Habsyi. Setelah Islam tersebar mereka berhubungan dengan Persia, Romawi dan Turki.

Dengan demikian, pada umumnya at-ta‘rīb disebabkan oleh adanya percampuran orang Arab dengan negara tetangga sejak dulu karena hubungan dagang, perpindahan, peperangan dan perluasan daerah penyiaran agama Islam.  Mereka banyak yang tinggal di negara-negara taklukan dan bergaul dengan penduduk asli. Mereka juga bercampur dengan orang-orang Eropa terutama pada masa perang Salib.[13]

Menurut   Rabi[14]  faktor-faktor   khusus   yang   menyebabkan timbulnya al-ta‘rīb adalah:

  1. Adanya kebutuhan yang mendesak (keadaan darurat) seperti penyerapan nama-nama hewan dan tumbuhan-tumbuhan, hasil-hasil teknologi modern serta hasil penelitian yang baru. Orang-orang Arab tidak mampu menolak hal tersebut dengan alas an tidak ditemukan lafadz bahasa Arab yabg dapat mengungkapkannya sehinga kosa kata- diterima baik dengan tanpa mengalami perubahan dari bahasa aslinya atau dengan perubahan yang ada dalam bahasa Arab.
  2. Adanya keinginan untuk  membanggakan  diri  dan  terkenal.  Kosa  kata Asing terserap ke dalam bahasa Arab merupakan  hasil keinginan orang Arab dikenal bahwa dalam bahasa Arab ada juga unsur-unsur dari bahasa lain.
  3. Kekaguman sekelompok orang (umat) terhadap kelompok (umat) yang lain. Sekelompok orang mengikuti kelompok yang lain dalam fenomena sosial di antaranya fenomena bahasa, contohnya bangsa Turki dan Persia mengambil banyak kosakata Arab karena kekagumannya terhadap bahasa Arab.
  4. Keringanan/kemudahan kosa kata bahasa sumber.  Bahasa  Asing  lebih mudah/ringan  pengucapannya  dari  bahasa  Arab  sehingga  kosa  kata tersebut terpakai dan tersebar, contohnya;  مسك (Kesturi/Parfum) dipakai menggantikan kata المشموم  dan التوت (pohon ulat sutera) menggantikan kata الفرصاد .

Metode At-Ta‘rib

Sebelum  membicarakan  tata  cara  atau  metode  arabisasi  suatu  lafadz, terlebih dahulu akan dikemukakan ruang lingkup penyerapan suatu bahasa ke bahasa yang lain ditinjau dari  tataran kebahasaan. Penyerapan antar bahasa secara umum bisa terjadi pada tataran  fonem (bunyi), tataran kata dan juga bisa terjadi pada tataran nahwi (kaidah-kaidah kebahasaan).

  1. Tataran Fonem

Pada tataran ini suatu bahasa menyerap dan mengambil beberapa fonem bari bahasa  lain  (bahasa  sumber).  Contohnya;  bahasa  Inggris  menyerap fonem-fonem Halqī dari bahasa Arab. Fonem Halqī adalah fonem-fonem yang keluar dari tenggorokan seperti العين , الغين , الحاء , الخاء , الهاء . Demikian juga orang-orang Sumari menyerap fonem- fonem   Halqī  tersebut  dari  bahasa  Semit  ketika  orang-orang  Semit melakukan hijrah  ke Iraq dan bercampur dengan mereka.

  1. Tataran Kata

Pada tataran ini suatu bahasa menyerap kosa kata atau lafaz-lafaz dari bahasa sumber. Contohnya; bahasa Arab menyerap lafaz-lafaz dari bahasa Ibrani seperti kata   اليوم , ابراهيم , الطور dan اسماعيل. Dari bahasa Habsyi seperti kata المشكاة ,. النصيب,  المنبر , الرائك  , الكفل Dari bahasa Persia seperti   الكافور , الديباج  , السندس ,   الاستبرق , الابريسم   , القرنفل , الدولاب اللكعك , العسكر ,. Dari bahasa Yunani seperti  kata الفردوس , الترياك , القسطاس , البطريق dan  الشنجبيل.

  1. Tataran Nahwu (Sintaksis)

Penyerapan   pada   tataran   ini   jarang   terjadi   karena   setiap   bahasa mempunyai   aturan   tersendiri   dalam   membentuk   kalimat.   Menurut Whitney penyerapan pada tingkatan ini susah terjadi kecuali jika bahasa tersebut terkalahkan oleh bahasa yang lain sedangkan menurut Ibrahim Anis  pendapat  Whitney  tersebut  sangat  berlebihan  karena  meskipun bahasa tersebut belum punah suatu bahasa bisa menyerap aturan-aturan kebahasaan dari bahasa lain (bahasa sumber). Contohnya; bahasa Inggris sewaktu terjadi kontak (hubungan) dengan bahasa Latin menyerap beberapa kaidah bahasa Latin seperti pembentukan jamak dan isytiqāq. Bahkan bahasa Persia menyerap dari bahasa Arab kosa kata dan pembentukan jamak-nya  sekaligus seperti kata مسجد dan  مساجد .

  1. Metode Arabisasi (at-Ta‘rīb)

Cara yang ditempuh oleh orang Arab dalam menyerap kosa kata Asing dan menjadikannya sebagai bahasanya pada dasarnya terbagi empat yaitu:

1) Mengubah kata tersebut dan menyesuaikannya dengan pembentukan kata bahasa Arab seperti kata  بهرج (buruk, jelek) yang disesuikan dengan kata سهلب ( panjang).

2) Mengubah kata itu tapi tidak menyesuaikan dengan pembentukan kata bahasa Arab seperti kata  اجر.

3) Tidak mengubah kata tersebut dan menyesuikannya dengan bahasa Arab seperti   kata   كركم (kunyit) yang disesuaikan dengan kata قمقم (lingkaran lengan baju).

4) Tidak mengubah katanya dan tidak menyesuaikan dengan bahasa Arab seperti [15]خراسان.

Dari pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kata serapan yang masuk dalam bahasa Arab ada yang mengalami perubahan dan penyesuaian dan ada juga yang diserap secara utuh tanpa perubahan. Kata-kata yang diubah oleh orang Arab dengan cara menyesuaikan dengan karakteristik bahasa Arab itulah yang disebut al-mu‘arrab (المعرب ) sedangkan kata-kata yang tidak mengalami perubahan  apapun  sehingga  tidak  ada  karakteristik  bahasa  Arab  pada  kata tersebut itulah yang disebut dengan al-dakhīl (الدخيل ).

Pandangan Para Ulama dan Problematika At-ta’rib dalam Al-Qur’an

Ulama klasik maupun ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai pertanyaan apakah dalam al-Qur’an terdapat lafaz yang bukan bahasa arab asli atau serapan. Ada tiga kelompok ulama klasik yang berpendapat dengan masalah ini yaitu :

Kelompok pertama berpendapat bahwa pada kenyatannya dalam al-Quran ada lafaz-lafaz yang bukan bahasa Arab (ajam). Kata-kata tersebut diantaranya adalah الربانيون , الور  اليم ,طه,   كفلين ,مشكة ,القسطاس ,الفردوس ,الصراط dan lain-lain.Ulama yang berpendapat demikian diantaranya  adalah    Ibnu  Abbas[16],  Mujahid,  Ibnu  Jubair,  Ikrimah  dan sebagian dari golongan ahli fiqh.

Kelompok yang mengakui adanya at-ta’rib dalam bahasa Arab sering menyandarkan dalil mereka pada pernyataan Ibnu Abbas, diantaranya ketika beliau menafsirkan surat al-Muddatstsir ayat 51,(فَرَّتْ مِنْ قَسْوَرَةِ) dengan mengatakan, kata (قَسْوَرَةِ) yang berarti Singa dimana dalam bahasa Arab Singa adalah (الأسد), dalam bahasa Persi adalah (شار), dalam bahasa Nabthiyyah adalah (أريا), dan dalam bahasa Habsyi (قَسْوَرَةِ)[17] ini.  Bahkan,  diantara kelompok ini ada pula yang lantang menyatakan bahwa al-Quran mengandung segala bahasa yang ada di dunia.

Pada periode berikutnya, di mana ilmu linguistik Arab mengalami perkembangan yang luar biasa, problematika at-ta’rib menjadi salah satu perhatian para pakar bahasa Arab. Hal ini, misalnya, terlihat dari karangan Khalil bin Ahmad (w,175 H.), buku yang berjudul al-‘Ain, yang diantaranya membahas tentang akar-akar kata tertentu yang berasal dari bahasa asing. Demikian juga dengan muridnya: Khalil dan Sibawaih, dalam bukunya berjudul al-Kitab menulis tentang objek yang sama. Pengkajian atas objek ini kemudian dilanjutkan oleh Abu Ubaidah (w. 209 H.), al-Ushmu’i (w. 214 H.),Ibnu Qutaibah (w. 276 H.), Ibnu Duraid (w. 321 H.), al-Jauhari (w. 398 H.), Ibnu Sayyidah (w.458 H.), dan al-Jawaliqi (w. 539 H.).

al-Jawaliqi memiliki buku yang berjudul al-Mu’arrab, suatu ensiklopedia yang khusu membahas kata – kata dalam bahasa Arab yang memiliki akar kata dari bahasa Asing. Buku ensiklopedia ini merupakan kesimpulan dari kajian-kajian ulama-ulama terdahulu atas kata-kata bahasa Arab yang merupakan serapan dari bahasa asing. Kemudian, al-Jawaliqi menambahinya dengan hasil kajiannya sendiri. Kelompok kedua ini, dari golongan linguistik berpendapat bahwa tidak ada kata al-Mu’arrab dalam al-Qur’an dengan dalil firman Allah swt. Mereka adalah Al- Syafi’i, Ibn Jinny, al-Razy, al-Zamakhsyari, Ibn Faris, dan Abu Ubaydah Ma’mar bin Mutsanna (w. 210). Menurut mereka,  al-mu’arrab bukan termasuk bahasa Arab sehingga  seandainya terdapat di dalam al-Qur’an, akan berlawanan dengan beberapa ayat al-Qur’an  yang menegaskan penggunaan bahasa Arab dalam seluruh ayat al-Qur’an, yaitu ayat:

إِنَّآ أَنزَلۡنَٰهُ قُرۡءَٰنًا عَرَبِيّٗا لَّعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ٢

Artinya: “Sesungguhnya kami menurunkannya berupa al-Qur’an berbahasa Arab,agar kamu mengerti.” (QS. Yusup 12:2)

بِلِسَانٍ عَرَبِيّٖ مُّبِينٖ ١٩٥

Artinya:” Dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. Asy-Syu’ara 26: 195)

Menurut Abu Ubaidah Ma’mar bin Mutsanna (w.210 H). Ia mengatakan,” Barang siapa yang menganggap di dalam al-Qur’an terdapat kata yang berasal dari bahasa selain bahasa Arab maka berarti ia telah sombong, hal itu karena Allah berfirman, “Dengan bahasa Arab yang jelas.” (Q.S. Asy-Syu’ara:26)” Ibnu Mutsanna juga menyebutkan bahwa barang kali memang ada kata tertentu di dalam al-Qur’an yang menyerupai suatu kata dalam bahasa asing, misalnya kata (الإستبرق) dalam bahasa Arab al-Qur’an yang menyerupai kata (إستبره) dalam bahasa Persia. Namun, itu hanya menyerupai, bukan berarti kata (الإستبرق) berasal dari bahasa Persia.[18]

Kesamaan suatu kata untuk menunjuk objek tertentu yang terjadi diantara dua bahasa atau lebih memang sangatlah mungkin terjadi dan memang contohnya banyak. Barangkali disinilah terdapat peletak dasar definisi at-ta’rib. Hal ini pun sebenarnya sudah secara tersirat disebutkan oleh pakar bahasa Arab sebelum Abu Ubaidah, yaitu Khalil bin Ahmad, ketika mencontohkan kata (التنور).[19]

Kelompok ketiga adalah golongan yang menengahi kedua golongan di atas. Seperti Abu Ubaid Qasim bin Salam (w.223 H.) dan Ibnu Faris (w.395 H) Golongan  ini  berpendapat  bahwa  kedua  golongan  tersebut baik yang menerima ataupun yang menolak keduanya benar, karena kata-kata tersebut pada awalnya atau asalnya memang adalah bahasa  ajam kemudian orang Arab  meng-arab-kannya sesuai dengan bahasanya, mengubah  lafadz-lafadz ajam dengan menyesuaikan lafadz bahasanya sehingga bahasa ajam tersebut menjadi bahasa Arab. Setelah itu, turunlah al-Qur’an sehingga kata-kata tersebut bercampur dalam bahasa Arab. Dengan demikian orang yang berpendapat bahwa kata-kata tersebut adalah bahasa Arab dan orang yang berpendapat  bahwa  kata-kata  tersebut  adalah  mu’arrab semuanya  bena

Pendapat ini merupakan pendapat yang paling dapat diterima, baik di lihat dari sudut pandang ilmu sosiologi maupun linguistik. Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab kepada penutur asli bahasa Arab yang telah lama hidup sebelum  al-Qur’an turun.  Mereka telah lama  berinteraksi  dengan  bangsa- bangsa non-Arab seperti bangsa Persia, Romawi, Yunani, India, Cina, dan bangsa-bangsa  lainnya,  baik  melalui  proses  perdagangan,  pertemuan  para duta, dan penjajahan oleh bangsa lain. Bahasa Arab bukan bahasa yang baru lahir, tapi  telah  mengalami  interaksi  dengan  bahasa-bahasa  bangsa  lain melalui berbagai cara.

Sebagaimana juga Sibawaih dan al-Jauhari, Sibawaih, disatu sisi memang diakui sebagai salah seorang pioneer ilmu linguistik Arab, tetapi di sisi lain pendapatnya tentang at-ta’rib tidak banyak didukung oleh tokoh pakar bahasa Arab lain. Hal itu, dikarenakan pendefinisiannya tentang at-ta’rib dianggap terlalu keras. Dalam bukunya al-Kitab, Sibawaih menyebutkan bahwa at-ta’rib dapat dipecah menjadi dua bagian. Pertama, kata atau istilah yang disesuaikan dengan kata dalam bahasa Arab sehingga memiliki wazan seperti bahasa Arab. Kedua, kata atau istilah asing yang karena sebagian hurufnya tidak terdapat dalam huruf Arab yang mendekati atau menyerupai huruf asing tersebut. Maka, huruf vokal atau harakatnya pun diganti disesuaikan dengan bahasa Arab.

Pendapat yang lebih ketat dikemukakan oleh Jauhari, penulis buku ash-shihah, menurutnya, jika kata atau istilah asing itu akan digunakan dalam bahasa Arab, maka kata atau istilah itu harus disesuaikan dengan wazan (pola) dan sighat bahasa Arab. Jika tidak bisa disesuaikan maka kata atau istilah tersebut tetap dianggap sebagai kata atau istilah asing. Dalam hal ini, al-Jauhari yang didukung oleh al-Hariri bisa dikatakan “ketat” dalam mengawal bahasa Arab. Maksud dari itu adalah bahwa al-Jauhari menerapkan batasan yang kuat untuk menjaga bahasa Arab dari bahasa asing.

Namun dalam prakteknya, pendapat Sibawaihlah yang terlihat lebih ketat dan terbuka terhadap pengaruh bahasa asing menjadi lebih sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu, tidaklah mengherankan karena Sibawaih menjadi lebih toleran (sesuatu yang memudahkan khalayak ramai untuk menggunakannya dan menerapkannya).

Dalam buku al-‘Ain, secara tersirat khalil bin Ahmad mengemukakan pendapat yang senada dengan Sibawaih. Khalil pun seringkali menggunakan kata-kata dari at-ta’rib (al-Mu’arrab: kata atau istilah serapan dari bahasa asing) sebagai contoh atas kaedah atau hukum yang ia terangkan. Namun dalam beberapa kesempatan, Khalil juga menjelaskan bahwa kata atau istilah tertentu itu diambil dari bahasa asing tertentu. Misalnya ketika ia menyebutkan kata (هيا شراهيا) maka itu dari bahasa Ibrani, yang dalam bahasa Arab berarti (يا حي يا قيوم). Demikian pula kata (طه) bahwa itu berasal dari bahasa Habsyi yang dalam bahasa Arab berarti (يارجل).

Itulah yang dilakukan Khalil untuk menjelaskan bahwa kata tertentu bukanlah bahasa Arab asli. Namun ada pula cara lain yang ditempuh Khalil untuk menerangkan perbedan antara bahasa Arab dan bahasa non-Arab. Khalil pun menghasilkan kaidah-kaidah diantaranya:

  1. Dalam bahasa Arab tidak ada kata ruba’iyyah (tetrastict) atau khumasiyyah (pentrastrich) yang terdiri dari huruf dzilaqah (huruf yang bermahraj ujung lidah), yaitu ra, lam, nun, fa, ba dan mim (رل ن ف ب م).
  2. Dalam bahasa Arab tidak mungkin huruf qaf dan kaf berkumpul dalam satu kata demikian pula huruf jim tidak mungkin berkumpul dengan kedua huruf itu seperti kata (جلق), itu tidak mungkin merupakan kata asli dari bahasa Arab.
  3. Dalam bahasa Arab, tidak ada kata yang didahului huruf nun dan ra seperti kata (نر). Seperti kata(نرجس, نرمق), itu tidak mungkin merupakan kata asli dari bahasa Arab.

Al-Hariri sebagaimana Al- Jauhari mewajibkan setiap kata yang di serap dari bahasa non-Arab jika ingin digunakan dalam bahasa Arab (dita’rib) maka harus disesuaikan dengan wazan bahasa Arab. Misalnya kata (شطرنج) maka huruf awalnya harus dibaca kasrah sehingga serupa dengan wajan (جردخل). Demikian pula kata (سوسن) maka huruf sin harus dibaca fathah dan huruf wau di sukun sehingga serupa dengan wazan (كوثر). Demikin halnya dengan kata (هاون) harus dibaca (هاوون) sehingga serupa dengan wazan (فاعول). Pendapat Al –Hariri dan Al-Jauhari disetujui oleh Syihabuddin Ahmad al-Khofaji (w. 979 H).

Namun, dalam beberapa hal Syihabuddin mengoreksi bacaan-bacaan Al-Hariri. Hal ini misalnya berkaitan dengan kata (شطرنج). Menurut Syihabuddin huruf awalnya dapat dibaca kasrah atau fathah (شِطْرَنجِ, شَطْرَنْجِ ) meskipun baginya tetap lebih baik dibaca kasrah. Syihabuddin juga menegaskan bahwa kata-kata al-Mu’arrab (kata asing yang diarabisasi) haruslah disesuaikan dengan wazan dan kaidah bahasa Arab meskipun ia sendiri mengakui bahwa ahli nahwu memiliki pendapat sebaliknya sebagaimana Sibawaih yang menyatakan bahwa alMu’arrab ada yang disesuaikan dengan wazan dan kaidah bahasa Arab dan ada pula yang tidak disesuaikan.

  Adapun menurut ulama  kontemporer atau ulama bahasa modern. Pembahasan tentang atta’rib juga cukup menguras pemikiran, dalam artian mendapat perhatian serius dari para pakar linguistik Arab. Sama seperti perdebatan di era-klasik, perbedaan pendapat era-modern pun terpecah ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang toleran dalam mengakomodasi kata asing dan kelompok yang memiliki persyaratan ketat dalam menerima kata non-Arab.

Kelompok pertama, sebagai “penerus” Khalil dan Sibawaih, diantaranya adalah Abdul Qadir al-Maghribi. Pada tahun 1908, Abdul Qadir menulis artikel yang didalamnya menyebutkan pengakuannya atas kecenderungannya terhadap pendapat Sibawaih, meskipun hal itu, barangkali bersebrangan dengan banyak orang Arab. Baginya, langkah-langkah menuju at-ta’rib tetap tidak dapat dipaksakan sesuai kaidah bahasa Arab. Suatu kasus barangkali memang dapat disesuaikan, tetapi dalam kasus lain, kata asing tertentu tidak dapat diserasikan dengan kata dan istilah Arab.

Namun, Abdul Qadir menyadari bahwa jika “pintu at-ta’rib”dibuka terlalu lebar, bahasa Arab bisa-bisa kehilangan identitasnya. Karena itu, ia pun tetap memberikan batasan agar kata dari bahasa asing yang akan dimasukkan ke dalam bahasa Arab tidak terlalu membanjiri kamus-kamus bahasa Arab. Baginya, hal ini penting dilakukan untuk menjaga agar bahasa Arab fusha tidak terjerumus seperti bahasa Arab ‘ammiyah di berbagai belahan negara Arab. Selain itu, agar kata atau istilah itu juga dapat “diamankan” sehingga tidak berdiri pada posisi tidak jelas.

Abdul Qadir dan para pendukung pendapat Sibawaih juga memiliki alasan kuat dibalik toleransi yang begitu besar terhadap masuknya bahasa asing kedalam bahasa Arab. Alasan itu adalah bahwa dunia berkembang dengan begitu cepat sehingga persinggungan antar bangsa tidak dapat dihindari. Karenanya, kebutuhan untuk berkomunikasi diantara bangsa-bangsa itu mendorong tukar-menukar kosa kata yang kemudian menjadi atta’rib makin menghiasi bahasa Arab. Selain itu, at-ta’rib juga dibutuhkan agar penggunaan istilah tertentu terutama dalam ranah ilmiah dapat lebih mudah dipahami.

Di lain pihak, pada masa yang hampir bersamaan dengan Abdul Qadir, ada penyair sekaligus cendikiawan Irak, Ma’ruf ar-Rashafi, yang dengan teguh memegang pendapat al-Jauhari. Menurut Ma’ruf, at-ta’rib memang boleh diadopsi, tetapi harus melalui persyaratan yang ketat. Diantaranya adalah diselaraskan dengan wazan bahasa Arab  (misalnya dalam syair) dan penggunaanya haruslah sementara saja. Selanjutnya, jika suatu saat ada kata dari bahasa Arab yang sesuai dengan kata asing yang dimaksud, maka penggunaan dari bahasa Arab harus lebih diutamakan. Misalnya saja pada kata (أوتو موبيل)”kendaraan/mobil”, Ma’ruf menyebutkannya sebagai (توموبيل) dalam syairnya:

بتوموبيل جرى في الأرض منسرحا # كما جرى الماء من سفح الأهاضيب

Begitulah upaya Ma’ruf dalam menjaga bahasa Arab. Bahkan, ia berusaha ‘memaksakan” kata asing dengan menggugurkan sebagian hurufnya agar sesuai dengan wazan syair. Kata ini pun ia sebutkan ketika memang belum ada kata padanan yang tepat dalam bahasa Arab. Ketika kemudian muncul istilah (سيارة) dalam bahasa Arab, maka penggunaan kata yang disebut terakhir ini, menurutnya, haruslah diutamakan ketimbang penggunaan kata (أوتو موبيل) atau (توموبيل).[20]

Pada kurun yang sama, perdebatan antara kubu pendukung bertoleransi terhadap at-ta’rib dan kubu yang bersebrangan juga terjadi dalam perhelatan Nadi Darul ‘Ulum tahun 1980. Tepatnya antara Syekh Muhammad al-Khudhari dan Syekh Ahmad al-Iskandari. Syekh Muhammad al-Khudhari mengemukakan bahwa pada zaman mutakhir, bahasa Arab seringkali kesulitan menemukan padanan yang sama persis untuk istilah baru yang dihasilkan bangsa asing, terutama bangsa Barat yang dengan kemajuan mereka dalam ilmu pengetahuan menjadi pihak yang lebih dulu mulai menemukan kata atau istilah baru. Karena itu, penyerapan bahasa asing ke dalam bahasa Arab menjadi tidak terelakan jika penutur bahasa Arab tidak mau ketinggalan.

Syekh al-Khudhari juga menyodorkan alasan lain yang dikaitkan dengan agama. Menurutnya, bahasa tidaklah seperti agama yang harus dijaga orisinalitasnya dari pengaruh asing.  Hal itu karena agama adalah produk Tuhan. Adapun bahasa, sebagai alat komunikasi antar manusia, haruslah disesuaikan dengan kebutuhan manusia dalam berkomunikasi. Semakin mudah para penutur bahasa menggunakan bahasa maka semakin baiklah bahasa itu. Jika penutur bahasa Arab ingin dapat mengikuti perkembangan zaman yang begitu cepat maka bahasa Arab tidak boleh terlalu diisolasi. Dengan kata lain, at-ta’rib harus diberi ruang yang lebih luas.[21]

Sementara itu, Ahmad al-Iskandari yang cenderung lebih ketat menghadapi masalah at-Ta’rib ini mengakui bahwa suatu bahasa tidak mungkin mengisolasi diri dari bahasa lain. Karenanya, suatu bahasa hampir dapat dipastikan menerima pengaruh dari bahasa lainnya, dalam hal ini masuknya istilah-istilah baru ke dalam bahasa itu. Bahasa Arab pun tidak mungkin lepas dari pengaruh bahasa asing, hingga kemudian muncullah atta’rib itu. Meskipun begitu, menurut Syekh al-Iskandari, peresmian atau penggunaan istilah asing dalam bahasa itu tentu tidak bisa dilakukan semena-mena, misalnya oleh penutur bahasa Arab yang bukan asli bangsa Arab. Orang yang berhak menentukan atta’rib itu hanyalah bangsa Arab selaku pemilik bahasa Arab itu sendiri. Orang lain selain bangsa Arab, meskipun bisa atau terbiasa bertutur menggunakan bahasa Arab, tentu tidak berhak memasukan kata atau istilah asing ke dalam bahasa Arab kemudian mengklaimnya sebagai hasil atta’rib.

Syekh al-Iskandari juga menegaskan bahwa kebanyakan kata asing yang masuk ke dalam bahasa Arab merupakan bentuk ‘alam( الأعلام) atau isim jins/ common noun (أسمآء الأجناس). Karena itu, tentu tidak jadi soal isim ‘alam/ proper noun masuk ke dalam bahasa Arab sebagaimana aslinya dalam bahasa asing, cukup huruf-hurufnya disesuaikan dengan huruf Arab. Adapun isim Jins yang dimasukkan ke dalam bahasa Arab terbagi menjadi dua. Pertama, isim (kata) asing yang sejak zaman dahulu diketahui makananya oleh bangsa Arab. Misalnya kata canal yang dalam bahasa Arab berarti (خليج) atau (قناة). Kata asing canal ini dapat dituturkan dalam bahasa Arab sebagai (قنال). Kedua, kata asing yang tidak diketahui sebelumnya oleh bangsa Arab asli merupakan sesuatu yang baru. Atas problematika ini, syekh al-Iskandari mengajukan tiga cara untuk memprosesnya sebagai al-mu’arrab, yaitu sebagai berikut:

  1. Menerjemahkan kata asing tersebut ke dalam bahasa Arab. Misalnya, kata cinematography (سينما توجراف) menjadi (الصور المتحركة).
  2. Mengambil padanan kata bahasa Arab dari sifat atau aksi (‘amal) kata asing dimaksud. Misalnya kata bicycle (البسكليت) menjadi (الدراجة).[22]
  3. Mengambil padanan kata bahasa Arab dari hubungan sebab-akibat, kemiripan, atau pun hubungan yang lain atas kata asing yang dimaksud.

Problematika atta’rib ini juga menjadi perhatian Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah (yang kemudian disebut Majma’) sejak awal berdirinya lembaga yang menggeluti ilmu bahasa Arab itu. Ketika pertemuan pertama (ad-daurah al-ula) di helat, khususnya pada sidang ke-31, Majma’ menghasilkan keputusan tentang diperbolehkannya penggunaan sebagian kata asing dalam bahasa Arab setelah melalui proses atta’rib, itu pun dalam kondisi mendesak. Dalam hal ini, Syekh al-Iskandari menafsirkan keputusan dengan mengemukakan bahwa bahasa Arab Fusha memang mengakomodasi adanya at-ta’rib, tetapi hal itu terjadi hanya terjadi pada sebagian kasus. Syekh al-Isakandari benar-benar menggaris bawahi kata sebagian dalam keputusan sidang Majma’. Menurutnya, kata sebagian di sini meniscayakan penggunaan atta’rib hanya dalam bidang keilmuan (al-alfazh al-‘Ilmiyyah) dan kesenian (al-alfazh al-fanniyyah) yang pada masa itu (atau sampai sekarang) memang masih berkiblat kepada bangsa lain (Barat). Adapun jika berkenaan dengan sastra (al-alfazh al-adabiyyah) atau hal lain yang dianggap biasa (al-alfazh ‘adiyah) maka harus menggunakan kosa kata bahasa Arab.

Selain itu, Majma’ juga menghasilkan keputusan lain berkaitan dengan problematika at-ta’rib, yaitu:

  1. Kata dari bahasa Arab harus diutamakan atas kata al-mu’arrab kuno, kecuali jika kata al-mu’arrab kuno tersebut benar-benar lebih dikenal.
  2. Setiap kata al-mu’arrab yang diadopsi haruslah dituturkan sesuai dengan huruf-huruf Arab sebagaimana umumnya diucapkan bagsa Arab.

Adanya perbedaan dua pendapat yang berhadap-hadapan ini coba diuraikan oleh Mahmud Taimur dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1956. Pada dasarnya, Mahmud Taimur memang lebih cenderung pada pendapat yang mengajukan persyaratan ketat dalam proses at-ta’rib, seperti syarat disesuaikan dengan wazan bahasa arab. Namun ia tidak memungkiri adanya at-ta’rib. Misalnya saja ia tetap menggunakan kata (تليفون) sebagai adopsi dari bahasa inggris telephone, dari pada menggunakan kata asli bahasa Arab (ارزير).[23]    

Metode yang dilakukan kelompok moderat lebih dapat diterima karena bersifat objektif dan kondisional. Karena seandainya kata مذياع  /midzya’/, هاتف/hatif/,  dan سيارة  /sayyarah dikatakan kepada orang Arab Badui, ia dapat   mengenalnya   dengan   melihat   pola   kata-kata   tersebut   yang menunjukkan alat. Meskipun ia tidak mengetahui maksud sebenarnya dari ketiga kata tersebut, ia dapat mengetahui  مذياء  sebagai alat penyampai informasi, هاتفsebagai   alat   komunikasi, dan  سيارة sebagai   alat transfortasi. Berbeda halnya jika ketiga kata tersebut disampaikan berupa  hasil  arabisasi  versi  kelompok  pertama,  yaitu  راديوا ,تلفون ,  dan اوتو موبيل  orang Arab Badui tersebut tidak akan bisa memahaminya sedikitpun. Langkah yang diambil kelompok moderat lebih baik daripada kelompok pertama  yang fanatik buta terhadap bahasa Arab. Karena kecintaannya yang  berlebihan terhadap bahasa  Arab, kelompok   pertama   telah terbelenggu  dari  penyesuaian  diri  dengan  kemajuan  zaman. 

Padahal, bahasa Arab hidup di masa yang serba baru. Banyak istilah asing yang belum pernah ditemukan pada masa lalu sehingga mengharuskan adanya usaha arabisasi. Proses arabisasi bukanlah sebuah aib bagi sebuah bahasa. Berdasarkan teori sosial, penyerapan bahasa asing merupakan fenomena yang lazim terjadi pada semua bangsa yang saling berinteraksi satu sama lain.  Sebuah  bahasa  tidak  akan  pernah  mampuberdiri  sendiri  tanpa berkembang maju bersama bahasa-bahasa lainnya.

Begitu  juga  pandangan  kelompok  ke  dua  yang  terlalu  longgar  dalam proses arabisasi. Pengaruh negatif akan timbul dan menyebabkan eksistensi sejati bahasa Arab terancam.

Diakhir tulisannya, Stetkifach memberikan contoh-contoh kalimat yang telah di-ta’rib secara sempurna, dalam artian bisa di derivasikan sebagaimana umumnya kata dalam bahasa Arab.

Bahasa Indonesia

Bahasa Inggris

Bahasa Arab

Menjadi orang Amerika

To become Amerika

تأمرك

Arak-arakan orang bertopeng

masquarede

مسخرة

Manuver, pergerakan

manoeuvre

مناورة

Televisi

television

تلفرة

Kata (تأمرك) misalnya, dapat diubah menjadi (تأمركت) jika fa’ilnya adalah mu’annats atau (متأمرك) jika menjadi isim fa’il. Demikian pula kata (تلفزة) bisa diderivasikan menjadi (تلفز) yang berarti to televise, atau (التلفاز) yang berarti the televisionset.  

D. KESIMPULAN

Setelah menelaah dan meneliti dari berbagai sumber yang ada maka dapat disimpulkan bahwa at-ta’rib adalah serapan kosa kata bahasa asing ke dalam bahasa Arab berdasarkan cara-cara tertentu yang ditetapkan oleh orang Arab itu sendiri.

Faktor faktor yang mempengaruhi timbulnya at-ta’rib pada umumnya disebabkan oleh adanya percampuran orang Arab dengan negara tetangga sejak dulu karena hubungan dagang, perpindahan, peperangan dan perluasan daerah penyiaran agama Islam dll. Para ulama berbeda pendapat terkait adanya al-ta’rib dalam Al-qur’an.

At-Ta’rib juga mempunyai karasteristik tersendiri sehingga dapat membedakannya dengan kata Bahasa Arab asli. Adapun problematika yang muncul dalam at-Ta’rib adalah munculnya perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Kelompok pertama berpendapat bahwa pada kenyatannya dalam al-Quran ada lafaz-lafaz yang bukan bahasa Arab (ajam). Kelompok kedua dari golongan linguis berpendapat bahwa tidak ada kata mu’arrab dalam al-Quran. Kelompok ketiga adalah golongan yang menengahi kedua golongan di atas. Golongan ini berpendapat bahwa kedua golongan tersebut baik yang menerima ataupun yang menolak keduanya benar, karena kata-kata tersebut pada awalnya atau asalnya memang adalah bahasa ajam kemudian orang Arab meng-arab-kannya sesuai dengan bahasanya, mengubah lafaz-lafaz ajam dengan menyesuaikan lafaz bahasanya sehingga bahasa ajam tersebut menjadi bahasa Arab.

Terlepas dari persoalan pro dan kontra, arabisasi berkembang demikian jauh dalam ranah leksikologi Arab dan dianggap sebagai kemajuan dan perkembangan bahasa Arab. Namun demikian, ada beberapa tahapan dan proses atau metode yang harus dilewati oleh bahasa asing sebelum menjadi bagian dari bahasa Arab yang terwujud dalam penyerapan kata, penerjemahan, dan membentuk wazan baru.Untuk menjawab persoalan-persoalan at-ta‘rib, khususnya dalam bentuk atau model terbaru pada perkembangan leksikon bahasa Arab, dapat dilakukan melalui dua hal: Pertama, dengan cara merujuk kepada sumber-sumber lama yang bisa diperbaharui makna dan maksudnya, seperti menggunakan wazan lama untuk menciptakan istilah baru. Kedua, melalui pengamatan dan penelitian lebih lanjut pada beberapa media informasi, baik dalam dunia nyata seperti buku-buku dan kamus-kamus, maupun dalam dunia maya seperti internet dan mediayang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Muin, Abdul. 2004. Analisis Kontrastif Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru.

Wafi, Ali Abdul Wahid. 1962. ‘Ilmu al-Lughah, Cet. V. Mesir: Maktabah Nahdah.

Mashluh, Sa’ad Abdul Aziz. 2004. Fi al-Lisāniyyat al-‘Arabiyyah al- Mu’āsirah: Dirāsāt wa Mus\aqqafāt. Cairo: ‘Ālam al-Kutub

Hadi, Syamsul. 2005. “Perkembangan Leksikografi Arab” Dalam Berbagai Hal tentang Leksikologi dan Leksikografi Arab, makalah pada Seminar Leksikologi dan Leksikografi Arab. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Stetkifatch, al-‘Arabiyyah al-Fushha al-Haditsah, diterjemahkan dan disempurnakan dalam bahasa Arab oleh Dr. Muhammad Hasan Abdul Aziz (Fakultas Darul ‘Ulum, Cairo University), tt.

Abu Ja’far ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Maktabah Syamilah Vol II, tt.

Abu Ubaidah, Majazul al-Qur’an, Maktabah Syamillah Vol II,tt

Hilāl, Abdul Ghaffār Hāmid. al-Lughat al-‘Arabiyyah Khasāisuhā wa Samātuhā, Cet.: 1; al-Fajālah:al-Hadārat al-‘Arabiyyah, 1976.

Rabī,Abdullah  dan  Abdul  Aziz. Āllām. Fī  Fiqh  al-Lughah.  Cet.  1; Kairo: al-Maktabat al-Tawfiqiyyah, 1396H/1976M.

al-Suyuti, Jalaluddin Bin Abdul Rahman bin Abi Bakr. al-Muzhir. fi Ulūm al-Lughah. ditahqiq oleh Fuad Ali Mansur. Cet.I ; Baerut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1998.

Ya’kūb, Imīll Badī. Fiqh al-Lughat al-Arabiyyah wa Khaşāişuhā. Bairut: Dār    al-Śaqāfat al-Islāmiyyah, 1982.

Sirhaan, Muhammad. Fiqhullughah (Ilmu Bahasa Arab). diterjemahkan oleh Hasyim Asy‟ari. Cet.1; Semarang: IKIP Semarang Press, 1956.

Saleh, Subhi. Dirāsāt fi Fiqh al-Lughah.  Cet.3; Bairut: Dār al-Ilm alMalāyīn, 1968

[1] Abdul Muin. Analisis Kontrastif Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru. 2004, Hlm.19.

[2] Sa’ad Abdul Aziz Mashluh, Fii al-Lisāniyyat al-‘Arabiyyah al- Mu’āsirah: Dirāsāt wa Musaqqafāt. Cairo: ‘Ālam al-Kutub. 2004. Hlm.273 

[3] Ali Abdul Wahid Wafi,.  ‘Ilmu al-Lughah, Cet. V. Mesir: Maktabah Nahdah. 1962 Hlm. 226

[4] Menurut Emil Badi’ yaqub. “Bahasa arab fushah adalah bahasa yang digunakan dalam al-Qur’an, situasi-situasi resmi, penggubahan puisi, penulisan prosa dan juga ungkapan-ungkapan pemikiran (karya ilmiah)”. 

[5] Syamsul Hadi,. “Perkembangan Leksikografi Arab” Dalam Berbagai Hal tentang Leksikologi dan Leksikografi Arab, makalah pada Seminar Leksikologi dan Leksikografi Arab. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 2005. Hlm.2-3

[6] Liga Arab mendirikan Ma’hadu’d-Dirasat wal-Abchats Li’t-Ta’rib (Lembaga pengkajian dan penelitian untuk Ta’rib) yang berdiri di Rabah (1960). Lembaga ini mengkoordinasikan beberapa ahli bahasa yang tergabung di beberapa lembaga bahasa yang telah ada diberbagai negara Arab. Seperti:

  1. Majma’ul Al-Araby (Lembaga ilmu pengetahuan Arab), tahun 1919 di Damaskus, sekarang bernama Majma’ul-Lughatil-Arabiyyah (Lembaga Bahasa Arab)
  2. Majma’u Fuad Al-Awwal Li’l-Lughatil-Arabiyyah (Lembaga Bahasa Arab Fua’d I), tahun 1932 di Kairo.
  3. Al-Majma’ul-ilmi Al-Iraqy (Lembaga Ilmu Pengetahuan Irak). Tahun 1947 di Baghdad.
  4. Majma’ul –Lughatil-Arabiyyah Al-Urduny ( Lembaga Bahasa Arab Yordania), tahun 1977 di Amman.
  5. Akadimiyyatul-Mamlakatil-Maghribiyyah (Akademi Ilmu Kerajan Maroko), tahun 1980 di Maroko.
  6. Berbagai lembaga bahasa lain: Lembaga Bahasa Universitas Iskandariyah (Jami’atul-Iskandariyah), Universitas Terusan Suez (Jami’atul Qanatu Suwais), Universitas Uni Emirat Arab (Jami’atul-Imaratil-Muttachida), Universitas Shalahuddin (Jami’atul Shalachid-Din), dan Majma’ul-Lughatil-‘Arabiyyah Universitas Riyadh. (lihat Jurnal H . HUMANIORA Volem 14 No.1 ( 2022) :“Ketentuan Baru dalam Ta’rib: Pemabahasan Seputar Perkembangan Mutakhir dalam Bahasa Arab seri V” oleh: Syamsul Hadi. 2002, Hlm.78.

[7] Syamsul Hadi. “Perkembangan Leksikografi Arab”……  2005 : 6

[8] Subhi Saleh,. Dirāsāt fi Fiqh al-Lughah.  Cet.3; Bairut: Dār al-Ilm alMalāyīn, 1968 Zuhriah. Fiqhullughah, 2017 hlm.315

[9] Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif. Alfabeta Bandung.2008 hal. 30

[10] Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner (Metode Penelitian Ilmu Agama Interkonektif Interdisipliner dengan Ilmu lain), Paradigma, Yogyakarta 2010 hal. 53.

[11] Jalaluddin Bin Abdul Rahman bin Abi Bakr al-Suyuti,. al-Muzhir fi Ulūm al-Lughah. ditahqiq oleh Fuad Ali Mansur. Cet.I ; Baerut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1998. Hlm.211.

[12]Abdul Ghaffār Hāmid Hilāl, al-Lughat al-‘Arabiyyah Khasāisuhā wa Samātuhā, Cet.: 1; al-Fajālah:al-Hadārat al-‘Arabiyyah, 1976. Hlm.140.

[13]Muhammad Sirhaan,. Fiqhullughah (Ilmu Bahasa Arab). diterjemahkan oleh Hasyim Asy‟ari. Cet.1; Semarang: IKIP Semarang Press, 1956. Hlm. 83.

[14] Abdullah Rabī,  dan  Abdul  Aziz. Āllām. Fī  Fiqh  al-Lughah.  Cet.  1; Kairo: al-Maktabat al-Tawfiqiyyah, 1396H/1976M. Hlm. 153.

[15]Abdul Ghaffār Hāmid Hilāl,. al-Lughat al-‘Arabiyyah Khasāisuhā wa Samātuhā, Cet.: 1; al-Fajālah:al-Hadārat al-‘Arabiyyah, 1976. Hlm.144.

[16] Abdullah bin Abbas (w. 68 H.) yang dengan ketekunannya mengkaji kata-kata atau istilah-istilah yang menurutnya memiliki akar kata dari bahasa asing. Menurut sepupu rosulullah SAW Ini, ada beberapa kata dalam bahasa Arab, lebih khususnya al-Qur’an, yang kata aslinya merupakan serapan dari bahasa asing, diantaranya adalah kata thur (طور) yamm (يم), rabbaniyyun (ربانيون) shirath (صراط), qisthas (قسطاس), firdaus (فردوس), dan istabraq (استبرق). (Stetkifatch, dalam bukunya al-‘Arabiyyah al-Fushha al-Haditsah)

[17] Abu Jafar ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, Jilid hlm.14, Maktabah Syamilah Vol II.

[18] Abu Ubaidah, Majazul Qur’an, Jilid I hlm 5, Maktabah Syamilah Vol II.

[19] Khalil bin Ahmad, al-‘Ain, Jilid I hlm, 3, Maktabah Syamilah Vol II.

[20] Stetkifatch, Ibid, hlm 136-137

[21] Ibid, hlm 145-146

[22] Kedua kata dari bahasa inggris dan bahasa Arab ini sama-sama mengandung makna edaran atau putaran.

[23] Stetkifach, ibid, hlm 137 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top