Oleh: Mugni Muhit, S.Ag, S.Pd., M.Ag. Dosen STAI AL-Ma’arif Ciamis Disinyalir pendidikan sebagai proses pembentukan, bertumbuh dan berkembangnya manusia menjadi dewasa, arif dan bijaksana, baik akal, pikiran, maupun hatinya secara integral. Implementasi proses tersebut terus dibangun dengan berbagai langkah strategis dan ikhtiar refresentstif pemerintah sebagai pemangku kepentingan, guna tercapainya tujuan pendidikan nasional. Kebijakan pendidikan yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan belakangan ini adalah “Kampus Merdeka” sebagai wujud konkrit dari paradigma merdeka belajar di lingkungan perguruan tinggi. Nampaknya, mitsla tswab yang paling mendekati terkait kampus merdeka ini, bagi perguruan tinggi adalah kemerdekaannya dari “tekanan” akreditasi. Sebab faktanya akreditasi ini selalu menjadi beban yang mencemaskan bagi civitas akademika kampus, dan merupakan rutinitas lima tahunan yang tak mengenal lelah. Hal ini tentu saja lebih dari cukup menyita energi dan kafabilitas institusi. Namun demikian, disadari proses akreditasi bagaimanapun adalah sebuah uji kelayakan dan kepatutan diri institusi untuk menjalankan tridharma. Secara kerangka konseptual, kampus merdeka ini, diorientasikan untuk memberikan kelonggaran kepada institusi atau program studi, serta kebebasan melakukan akreditasi, sehingga posisinya semacam “tidak harus”. Alhasil proses akreditasi hanya bagi yang menghendaki saja atau menginginkan, seperti ingin naik peringkat dari akreditasi pertama. Berkenaan dengan MBKM ini, paling tidak ada beberapa kebijakan kampus merdeka yang digulirkan pemerintah melalui kemendikbud, yaitu: 1. Otonomi kampus, baik negeri maupun swasta untuk membuka program studi baru (bagi PTN/PTS terkareditasi A) kecuali prodi kesehatan dan pendidikan. 2. Re-Akreditasi otomatis 3. Kebebasan berkolaborasi dan alih status 4. Kebebasan Mahasiswa mengambil mata kuliah teoretis maupun praktis di dalam dan luar institusi dan prodi, serta perubahan konsep SKS. Kebijakan yang diusung pemerintah ini dapat dipahami bahwa pendidikan yang berkebebasan berbasis bakat dan minat adalah niscaya, dan karenanya mesti menjadi prioritas. Prioritas berarti ada yang diutamakan, namun manakala semuanya diutamakan, maka berarti tidak ada prioritas. Prioritas ini muncul dari interpretasi pendidikan berdasarkan strata, bahwa S1 tendensinya menggunakan ilmu, S2 arahnya mengembangkan ilmu, dan S3 berorientasi menemukan ilmu (novelty). Berdasarkan konsep di atas, kuliah jenjang S1 pada dasarnya tidak dituntut untuk meneliti (skripsi). S1 hanya didorong dan dikontruksi untuk mahir menerapkan berbagai disiplin ilmu. Ia tidak harus melakukan penelitian. Penelitian sejatinya hanya bagi mahasiswa pascasarjana S2 dan S3. Kematangan dan kedewasaan logika, hati dan akal pada jenjang ini, sangat memungkinkan dan layak melakukan penelitian yang berkeunggulan. Sebuah ide dasar tentang Kampus Merdeka, Kementerian Pendidikan Kebudayaan meluncurkan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Dan MBKM bukanlah perubahan Kurikulum, akan tetapi penambahan metode pembelajaran, yang diinternalisasi ke dalam struktur mata kuliah, hingga terjadi harmoni dengan kebutuhan, minat, dan bakat mahasiswa. Dengan kata lain, MBKM bukan restrukturasi tetapi reformulasi, atau reorientasi, di mana disediakan ruang bebas untuk mahasiswa berekspresi dan eksplor kompetensinya secara mandiri. Wujud MBKM teoretis yang paling sederhana adalah: mahasiswa disilahkan untuk mengambil matakuliah prodi lain pada institusi yang sama , maksimal 24 sks dengan syarat telah lulus di tingkat I (semester ganjil dan genap), boleh mengambil matakuliah semester ganjil atau semester genap. Sementara wujud MBKM praktis adalah pengakuan (klaim) institusi dan prodi, bahwa kegiatan Magang, PPL, PKL, dan KKN yang telah biasa dilakukan mahasiswa, sebagai implemenrasi merdeka belajar, dan semua masing-masing dihitung 4 sks. Magang merupakan kegiatan pembelajaran di luar kampus yang umumnya dilakukan di perusahaan untuk mengetahui dan memahami pelaksanaan teori yang didapatkan mahasiswa di kampus dengan implementasinya di lapangan (perusahaan). Perbedaan yang mendasar antara magang sebelumnya dengan Magang pada kurikulum MBKM pada durasi kegiatannya. Magang pada MBKM terdiri dari total 20 SKS yang terdiri dari beberapa bahan kajian, misal: penyusunan laporan, penyusunan program dst. Penilaian diberikan pada masing-masing bahan kajian, bukan pada magang secara keseluruhan. Tugas Akhir dalam MBKM Tugas akhir pada kurikulum MBKM meimiliki formasi yang berbeda dengan skripsi yang biasanya menjadi syarat lulus mahasiswa S1. Pada kurikulum MBKM, mahasiswa diberikan beragam pilihan tugas akhir diantaranya skripsi, proyek bisnis, proyek kemanusiaan dan lain-lain sesuai kebijakan program studi masing-masing. Model tugas akhir yang variatif ini tentu sangat menarik, sebab memberikan pilihan kepada mahasiswa tentang apa yang bisa dipilih sebagai syarat kelulusannya daripada melakukan penelitian dan menulis skripsi sebagaimana pada umumnya. Kebijakan ini karena tidak semua mahasiswa mempunyai passion untuk menjadi peneliti, bahkan capaian pembelajaran pun tidak atau bukan sebagai peneliti, melainkan praktisi pendidikan, praktisi ekonomi syariah, dan praktisi bahasa arab, serta praktisi pengembang masyarakat Islam. References: 1. Kemendikbud. 2020. Mendikbud Luncurkan Empat Kebijakan Merdeka Belajar: Kampus Merdeka. 2. Kompas.com. 2020. Ini Rangkuman Kebijakan Kampus Merdeka Mendikbud Nadiem Makarim. 3. UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003. 4. Jejen Musfah, 2018, Kebijakan Pendidikan, Kencana, Jakarta 5. Abudin Nata, 2020, Manajemen pendidikan: Mengatasi kKelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta. 6. David Wijaya, 2019, Manajemen Pendidikan Inklusif, Kencana, Jakarta 7. Ahmad Muhibbin dan Achmad Fathoni, 2021, Filsafat Pendidikan, Muhammadiyah University Press, Surakarta.