MAJAZ DALAM AL-QUR’AN

Oleh: Deni Supriadi, S.S, M.A.
Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Arab (PBA)

MAJAZ DALAM AL-QURAN

Abstrak

 Alquran diturunkan kepada umat Islam sebagai pedoman hidup dengan  menggunakan bahasa Arab. Untuk memahami isinya, seseorang harus menguasai  bahasa Arab dengan baik karena di dalam Alquran terdapat beberapa gaya bahasa dalam menyampaikan isinya, di antaranya adalah Uslub Majaz. Hakikat adalah pokok. Sedangkan majaz adalah cabang. Hakikat adalah lafaz yang digunakan sesuai dengan makna aslinya. Sedangkan majaz adalah lafaz yang digunakan bukan pada makna aslinnya karena ada hubungan (alaqah) tertentu serta adanya indikator (qariinah) yang mengalihkan dari makna aslinya. Tulisan ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kepustakaan. Sumber data tulisan ini diambil dari kitab, buku, jurnal dan sumber lainnya yang berkaitan dengan pembahasan. Tulisan ini akan memaparkan apa yang dimaksud dengan uslub majaz dalam Alquran, cara menentukan lafaz hakikat atau majaz, ketentuan yang berkaitan dengan hakikat dan majaz, penyebab tidak berlakunya hakikat dan majaz serta pendapat ulama terkait keberadaan keduanya. Tidak lain supaya kita tidak salah dalam memahami isi Al-Qur’an.

 Kata Kunci: Hakikat, Majaz, Al-Qur’an

 Abstract

 The Al-Qur’an was revealed to Muslims as a way of life using Arabic. To understand its contents, one must master the Arabic language well because in the Al-Qur’an there are several styles of language in conveying its contents, including the essence and majaz. The essence is the main. While majaz is a branch. The essence is the pronunciation that is used according to its original meaning. Whereas majaz is a word that is used not in its original meaning because there is a certain relationship (alaqah) and there is an indicator (qariinah) that diverts from the original meaning. This paper uses a qualitative research method with a literature study approach. The data source for this paper is taken from books, books, journals and other sources related to the discussion. This paper will explain what is meant by essence and majaz in the Qur’an, how to determine the pronunciation of essence or majaz, provisions relating to essence and majaz, causes of the invalidity of essence and majaz as well as the opinions of scholars regarding their existence. Nothing but so that we are not wrong in understanding the contents of the Al-Qur’an.

 Keywords: Itself, Majaz, Al-Qur’an

Pendahuluan

Alquran sebagai pedoman kaum muslim turun dengan berbahasa Arab. Untuk memahaminya, seseorang harus menguasai bahasa Arab dengan baik dan ilmu-ilmu alatnya. Alquran sebagai kitab universal dan komprehensif, tentu di dalamnya banyak terkandung ajaran-ajaran yang terangkum di dalamnya seperti tauhid, syariat, akhlak dan lainnya. Beda pembahasan, beda gaya bahasa dalam penyampaiannya. Gaya bahasa yang dimiliki Alquran sangat bervariasi, di antaranya hakikat dan majaz (Zubaidillah, 2018).

Oleh karena itu, ulama Ushul Fiqh mengklasifikasikan kata (lafaz) dalam pemakaiannya terbagi menjadi dua, yaitu hakikat (denotatif) dan majaz (konotatif). Terkait kata dengan makna hakikat tidak ada lagi perdebatan di antara ulama terkait keberadaanya di dalam Alquran. Bahkan kata seperti ini yang banyak digunakan di dalam Alquran. Adapun keberadaan makna majaz dalam Alquran, masih jadi perbincangan hangat para ulama; jumhur ulama berpendapat makna majazi terdapat di dalam Alquran. Namun golongan ulama lain tidak mengakuinya (Badawi, 2019, Saputro, 2022, Firdaus, 2018, Lubis, 2011).

Sebagai contoh penggunaan kata al-asad untuk singa adalah hakikat. Apabila kata al-asad digunakan untuk manusia kepada seorang yang pemberani karena adanya hubungan kesamaan sifat dengan singa, yaitu berani, maka hal ini disebut makna majazi. Untuk lebih rincinya akan dibahas pada pembahasan berikut. Dalam tulisan ini akan dijelaskan makna hakikat dan majaz dalam Alquran, macam-macamnya beserta contoh dari hakikat dan majaz, urgensitas hakikat dan majaz serta pandangan para ulama terkait adanya majaz di dalam Alquran.

Pembahasan

  1. Hakikat Dalam Alquran

Hakikat dalam bahasa Arab biasa disebut al-haqiqah dari kata haqq yang berasal dari kata kerja haqqa-yahiqqu yang berarti nyata, tetap, asli atau kenyataan (Munawir, t.th). Sebagai subjek (fa’il) memiliki arti tetap dan sebagai objek (maf’ul) berarti yang ditetapkan (Zubaidillah, 2018). Sedangkan secara istilah, menurut Imam Akhdari hakikat adalah lafaz yang digunakan sesuai dengan arti yang seharusnya. Sedangkan menurut al- Jurjani, hakikat adalah setiap kata yang maknanya sesuai dengan keinginan pengucap kata itu tanpa bersandar kepada kata yang lain. Adapun menurut Ibn Faris, hakikat adalah kalimat yang dibuat sesuai dengan makna aslinya, bukan dengan makna isti’arah, tamtsil, taqdim dan juga bukan ta’khir (Hamzan, 2021).

Dan masih banyak lagi definisi yang dikemukakan oleh para ulama mengenai hakikat. Namun, pada akhirnya dapat kita simpulkan bahwa hakikat adalah lafaz yang digunakan seusai dengan makna aslinya dengan maksud dan tujuan tertentu tanpa adanya pergeseran makna dari makna aslinya baik bersifat majasi maupun figurasi. Seperti halnya jika kita mengatakan kursi sebagai tempat duduk yang terdiri dari kaki dan sandaran. Apabila kata kursi ini digunakan untuk makna lain, seperti kekuasaan (Ningsih, 2014), maka ini bukan lagi hakikat.

  1. Macam-Macam Hakikat

Imam Akhdhari dalam kitabnya Jauhar Maknun membagi hakikat menjadi tiga macam sebagaimana In’am Fawwal ‘Akkawi dalam kitabnya al-Mu’jam al-Mufasshal fi ‘Ulum al-Balagah: al-Badi’ wa al Bayan wa al-ma’ani sebagai berikut:

a) Hakikat secara syariat, yaitu suatu lafaz yang digunakan pada makna sebenarnya dari tinjauan syariat. Seperti kata shalat, berarti gerakan dan ucapan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.

Hakekat secara adat, yaitu kata yang digunakan pada makna yang sebenarnya dari tinjauan ‘urfiyah (tradisi). Seperti kata al-waladu yang secara bahasa artinya anak kecil baik laki-laki maupun perempuan, tetapi makna al-waladu secara ‘urfiyah adalah anak kecil laki-laki. Bentuk ini terbagi dua macam juga, yaitu:

  • ‘Urf yang umum: seperti pengharaman al-khamr padahal hakikatnya adalah sesuatu yang diminum.
  • ‘Urf yang khusus: seperti kata al-jinn yang berarti sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh mata. Seperti kata al-janin sesuatu yang tersembunyi (rahim, janin), majnun orang yang tertutup akalnya (orang gila). Akan tetapi kata al-jinn jika diartikan khusus dengan nama sebutan suatu makhluk yaitu sebangsa Jin.

b) Hakekat menurut bahasa, yaitu hakekat menurut arti sebenarnya dari segi bahasa tanpa ada penakwilan apapun baik dari segi tambahan maupun penyandaran kepada sifat lainnya. Seperti kata shalat yang berarti doa (Firdaus, 2018).

Dari beberapa klarifikasi hakikat tersebut, dapat kita simpulkan bahwa hakikat menurut syariat adalah kata yang digunakan sesuai makna hakikinya. Sedangkan hakikat menurut ‘urf baik umum dan khusus dan hakikat menurut bahasa adalah makna yang menunjukkan makna asal setelah mengalami transformasi makna.

  1. Hukum dan Signifikansi Hakikat

Yang dimaksud dengan hukum di sini adalah ketetapan-ketetapan yang harus dipatuhi dalam hakikat. Dalam hakikat ada beberapa ketentuan yang harus dipatuhi, di antaranya sebagai berikut:

a) Harus mengikuti ketetapan makna awal yang telah ditetapkan oleh pakar atau suatu

komunitas dibidangnya. Seperti firman Allah:…….. perintah dalam firman ini memerintahkan kita  untuk ruku’ dan sujud seperti yang diperintahkan oleh syari’ (nabi) seperti yang telah tertuang dalam sebuah hadist:

sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para pakar bahasa.

b) Tidak boleh memindah makna asli dari suatu lafaz. Seperti mengganti arti pada kata ayah menjadi kakek, karena kakek adalah makna majas dari ayah menurut orang arab.

c) Harus mendahulukan arti hakikat daripada arti majas karena arti hakikat adalah arti yang tidak membutuhkan suatu petunjuk untuk memahaminya, sedangkan arti majas membutuhkan suatu petunjuk untuk memahaminya. Hakikat adalah pokok dan majaz adalah cabang.

Setelah memahami hakikat dari berbagai macam pengertian, dan melihat dari klasifikasinya, hakikat memiliki signifikansi sebagai berikut :

a) Dengan mempelajari hakikat, dapat memahami suatu makna kata yang terdapat didalam Alquran dengan baik;

b) Kemudian dapat membedakan, antara kata yang harus diartikan sebagaimana bentuk asalnya dan mana pula kata yang harus dimaknai setelah mengalami transformasi;

c) Dapat memahami bahwa kata asal yang mengalami transformasi dengan kata lain, memiliki kaitan yang erat dan memiliki maksud tertentu.

Demikian pembahasan hakikat mulai dari pengertian, macam-macam hingga hukum dan signifikansinya. Walaupun pepatah Arab mengatakan ‘pada dasarnya semua kalam itu hakikat’, akan tetapi masih ada beberapa ketetapan yang harus dipatuhi. Dalam pembahasan ini juga dijelaskan betapa pentingnya memahami hakikat sebagaimana telah dijelaskan di atas.

  1. Majaz dalam Alquran

Menurut Abd al-Qadir al-Jurjani, majaz adalah kebalikan hakikat. Yaitu perpindahan makna dasar ke makna lainnya karena ada alasan tertentu. Kata maja dalam bahasa  Arab  disebut  dengan  المجاز  yang  berasal  dari  kata  kerja  bahasa  Arab  jaaza- yajuuzu- jauz-ja’uuz-jawaz dan majaz yang berarti jalan, alur atau cara (Munawir, t.th). Adapun secara terminologi, menurut Ibn Jinni, majaz adalah peralihan makna dasar ke makna lainnya, karena alasan terntu atau pelebaran makna dari makna dasarnya (Zubaidillah, 2018). Ibnu Qadamah memberikan definisi majaz sebagai lafaz yang digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang dibenarkan. Sedangkan menurut Al-Sarkhisi, majaz ialah setiap lafaz yang dipinjam untuk digunakan untuk maksud diluar apa yang ditentukan (Sulastri, 2018).

Dari berbagai definisi di atas yang telah dikemukakan oleh para ahli bahasa, dapat kita simpulkan bahwa majaz adalah lafaz yang digunakan bukan pada makna aslinnya karena ada hubungan (alaqah) tertentu serta adanya indikator (qariinah) yang mengalihkan dari makna aslinya. Adapun yang dimaksud dengan ‘alaqah adalah al- munasabah yaitu kesesuaian sesuatu yang menghubungkan antara makna hakiki (makna asal) dengan makna majazi (makna kiasan). Disebut demikian karena adanya hubungan dan keterkaitan makna yang kedua dengan yang pertama sehingga dapat mengecoh pemahaman dari makna pertama padahal yang dimaksud adalah makna yang kedua. Hubungan antara makna hakiki dengan makna majazi kadang dalam bentuk al- musyabahah yaitu keserupaan, kadang pula dalam bentuk ghair al-musyabahah yaitu bukan hubungan keserupaan. Sehingga apabila ‘alaqah-nya dalam bentuk al-musyabahah yaitu dalam bentuk keserupaan, maka bentuk tersebut tergolong sebagai majaz isti’arah. Sedangkan kalau dalam bentuk ghair al-musyabahah maka tergolong sebagai majaz mursal. Sedangkan yang dimaksud dengan qarinah adalah indikator atau tanda yang mencegah pemahaman seseorang untuk sampai kepada makna aslinya. Kemudian qarinah adakalanya dalam bentuk lafzhiyyah (lafal) dan ada juga dalam bentuk haliyah (kondisional) (Hamzan, 2021).

Misalnya ketika seseorang mengatakan: (lautan sedang khutbah di atas mimbar). Lautan di sini bukan makna hakiki, akan tetapi makna majazi yang berarti bahwa seseorang tersebut adalah orang yang mempunyai ilmu sangat luas bagaikan lautan. ‘Alaqahnya di sini adalah luasnya ilmu orang yang sedang khutbah tersebut bagaikan luasnya lautan. Sedangkan qariinahnya yang menghalangi kita untuk sampai kepada makna aslinya adalah kata sedang “khutbah di atas mimbar”, karena hal itu tidak mungkin. Dari sinilah kita dapati makna majazinya atau peralihan makna laut ke makna seseorang yang berilmu. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa istilah majaz merupakan suatu bentuk ungkapan di mana lafaz yang digunakan bukan pada makna aslinya melaikan makna kiasan atau identik dengan pemaknaan secara konotatif.

  1. Macam-Macam Majaz

a. Majaz fi al-Mufrad

Majaz fi al-mufrad adalah majaz yang menggunakan lafadz bukan pada permulaan asal peletakannya. Macam ini disebut juga majaz al-lughawi dan in terbagi ke dalam beberapa macam:

  • Al-hadzfu atau an-naqsu, yaitu majas yang menitikberatkan pada adanya lafadz yang tersembunyi. Contohnya dalam surat Yusuf 82:

Artinya: “Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu”. Di dalam ayat ini tersimpan lafaz yang tersembunyi sebelum lafaz (negri), yaitu lafaz أهل (penduduk) (Ekawati, 2020).

  • Az-ziyaadah, yaitu majaz yang menitikberatkan pada adanya lafaz atau huruf tambahan. Contohnya dalam surat Asy-Syuuraa: 11

Artinya: “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.” Sebagian ulama mengatakan bahwa hurup kaf di depan lafaz مثله secara makna muradnya merupakan tambahan.

  • Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafadz plural (kull) namun yang dimaksudkan adalah sebagian saja (juz). Contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat 19:

Artinya:  “Mereka  menyumbat  telinganya  dengan  (anak)  jarinya.”  Kata  أصابع  di  atas secara leksikal atau makna yang sebenarnya adalah jari-jari. Kiranya mustahil bagi orang- orang munafik Mekkah menyumbat telinganya dengan semua jari karena takut bunyi guntur yang mematikan. Tetapi yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah sebagian dari jari-jari, bukan semuanya.

  • Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafaz yang merupakan bagian dari suatu nama benda (juz), namun yang dimaksudkan adalah keseluruhannya (kul), bukan sebagiannya. Contohnya dalam surat Ar-Rahman: 27

Artinya: “Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu”. Lafaz wajah di dalam ayat ini merupakan bagian dari Dzat Tuhan, namun di dalam ayat tersebut tidak diambil makna wajah, tetapi dimaknai Dzat.

  • Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafaz khas (khusus). namun yang dimaksudkan adalah ‘aam (makna umumnya). Contohnya dalam surat Al- Munafiqun: 4

Artinya: “Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka”.

Lafaz العدو (musuh) di dalam ayat tesebut maksudnya adalah األعداء (semua musuh).

  • Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafaz ‘aam (umum), namun yang dimaksudkan adalah khas (makna khususnya). Contohnya dalam surat Asy- Syuuraa: 5

Artinya: “Dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang ada di bumi”. Lafaz من (orang)  di  dalam  ayat  tersebut  di  maksudkan  khusus  bagi  المؤمنون  (orang-orang  yang beriman

  • Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafaz almalzuum (yang diharuskan). Namun yang dimaksud dalah al-laazim (yang mengharuskan). Contohnya dalam surat Al-An’am: 39

Artinya:   “Tuli,   bisu   dan   berada   dalam   gelap   gulita”.   Kalimat   الظلمات   فى   (dalam kegelapan) di dalam ayat tersebut secara majaz dari segi asalnya adalah lafaz بكم (buta). Karena di dalam ayat lain di sebutkan  عمي بكم صم  maka penyebutan الظلمات فى di dalam ayat tersebut dikarenakan kalimat tersebut termasuk dari keharusan orang yang buta, artinya mata orang yang buta pasti merasakan gelap gulita.

  • Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafaz allaazim (yang mengharuskan), namun yang dimaksudkan adalah al-malzuum (yang diharuskan). Contohnya dalam surat Al-Maaidah: 112

Artinya: “Sanggupkah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?” Lafaz يستطيع (sanggup/bisa) di dalam ayat tersebut secara majaz dari segi asalnya adalah lafaz يفعل (melakukan), hal ini dikarenakan kesanggupan mengharuskan untuk melakukan.

  • Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafaz al-musabbab (akibat), namun yang dimaksudkan adalah as-sabab (sebab). Contohnya dalam surat Al-Mu’min: 13

Artinya: “Dan menurunkan untukmu rezki dari langit”. Lafaz rezki di dalam ayat ini merupakan akibat dari turunnya hujan (Abdullah, et.al, 2021).

  • Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafaz as-sabab (sebab), namun yang dimaksudkan adalah al-musabbab (akibat). Contohnya dalam surat Al-Baqarah: 194

Artinya: “Barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu”. Lafaz اعتدوا makna asalnya adalah “lakukanlah kezaliman”. Makna ini tidak bisa dipakaikan karena bertentangan dengan ajaran Islam, yang melarang dari berbuat zalım. Jika kita artikan dengan makna majaz, bisa dipahami bahwa kata اعتدوا merupakan sebab dari makna yang dimaksud. karena kezaliman merupakan penyebab adanya balasan. Jadi makna dari اعتدوا adalah “balaslah”.

  • Menamakan sesuatu dengan nama yang biasa disebutkan setelah ia mengalami proses tertentu. Contohnya dalam surat Yusuf: 36

Artinya: “Sesungguhnya aku bermimpi, bahwa aku memeras anggur” Lafaz خمر (arak) yang di sebutkan di dalam ayat ini adalah nama minuman yang di buat dari perasan anggur.

  • Menyampaikan ungkapan dalam bentuk lafaz al-hal (keadaan), namun maksudnya adalah al-mahall (tempat) yang keadaannya seperti yang di ungkapkan tersebut. Contohnya dalam surat Ali Imron: 107

Artinya: “Maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga); mereka kekal di dalamnya”. Lafaz للا رحمة (rahmat Allah) di dalam ayat ini, maksudnya adalah surga, hal ini karena keadaan surga penuh dengan rahmat Allah.

  • Menyampaikan ungkapan al-mahal (tempat), namun dalam bentuk lafaz al-hal (keadaannya). Contohnya dalam surat Al-‘Alaq: 17

Artinya:  “Maka  biarlah  dia  memanggil  golongannya  (untuk  menolongnya)”.  Lafaz  ناديه adalah nama suatu tempat dan yang di maksudkan di dalam ayat ini adalah penduduk yang mendiami tempat tersebut.

  • Menamakan sesuatu dengan nama alatnya. Contohnya dalam surat Ibrahim: 4

Artinya: “Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan dengan bahasa kaumnya”. Lafaz lisan di dalam ayat ini merupakan alat untuk melafalkan bahasa, oleh karena itu lafaz tersebut di maknai secara majaz, yaitu bahasa

Menamakan sesuatu dengan nama kebalikannya atau mengungkapkan suatu lafaz yang biasa di gunakan untuk sesuatu kebalikannya. Contohnya dalam surat Al-Insyiqaaq: 24

Artinya: “Maka beri kabar gembiralah mereka dengan azab yang pedih”. Lafaz بشر di dalam ayat ini biasanya di gunakan untuk kabar/berita yang menyenangkan/menggembirakan. Namun di dalam ayat tersebut di gunakan untuk kabar

  • Menambahkan atau menghubungkan fi’il (kata kerja) kepada sesuatu yang tidak biasanya di hubungkan dengannya. Contohnya dalam surat Al-Kahfi: 77

Artinya: “Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka (Khidhr) menegakkan dinding itu”. Fi’il يريد (ingin) di dalam ayat ini biasanya di hubungkan dengan (makhluk hidup), sedangkan di dalam ayat ini di hubungkan dengan lafaz dinding.

  • Menyampaikan ungkapan tentang sesuatu dengan fi’il (kata kerja). Namun maksudnya adalah dari segi kedekatan makna fi’il tersebut terhadapnya atau dari segi kemuliaannya atau keinginannya. Contohnya dalam surat Al-Maaidah: 6

Artinya:  “Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah..”  Fi’il  قمتم (kalian mengerjakan) yang di hubungkan dengan lafaz shalat di dalam ayat kedua maksudnya القيام أردتم (kalian ingin mengerjakan).

  • Menempatkan dua lafaz secara terbalik. Contohnya dalam surat Ar-Ra’d: 38

Artinya: “Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)”. Lafaz kitab seyogyanya di dahulukan dan lafadz أجل (masa akhir) di akhirkan, yakni أجل كتاب لكل (bagi tiap-tiap kitab ada masa akhirnya).

  • Menempatkan suatu shighah (bentuk suatu lafaz) pada kedudukan shighah lain Contohnya dalam surat Al-Baqarah: 255

Artinya: “Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah”. Lafaz ilmu di dalam ayat ini bershighah مصدر (kata dasar). Sedangkan yang seyogyanya adalah shighah مفعول (kata kerja transitif) dari lafaz tersebut, yakni معلوم (yang di ketahui), sehingga seyogyanya ayat tersebut bermakna “Dan mereka tidak mengetahui apa-apa yang diketahui oleh Allah”.

  • Menamakan sesuatu dengan nama yang biasa disebutkan sebelumnya. Contohnya dalam surat Thaahaa: 74

Artinya: “Barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan berdosa, maka sesungguhnya baginya neraka Jahannam”. Di dalam ayat ini orang yang datang kepada Tuhannya pada hari kiamat di namai مجرم (penjahat), hal itu di sesuaikan dengan keadaan dia sewaktu melakukan kejahata/dosa di dunia ini.

b. Majaz fi At-Tarkib

Majaz fi at-tarkiib adalah majaz yang menyandarkan suatu perbuatan atau kesangsian kepada sesuatu yang tidak memiliki originalitas, dikarenakan adanya hubungan keterkaitan antara keduanya. Majaz ini di sebut juga majaz al-aql dan majaz al-isnaad. Contohnya dalam surat Al-Anfaal: 2

Artinya: “Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya)”. Di dalam ayat terdapat suatu perbuatan Allah, yaitu  الزيادة (penambahan), yang di sandarkan kepada ayat ayat, hal ini karena dengan dibacakannya ayat-ayat tersebut menjadi sebab bertambahnya keimanan mereka.

Majaz ini terbagi ke dalam empat macam, yaitu sebagai berikut:

  • Penyandaran kedua sisinya adalah hakikat (makna asli). Contohnya dalam surat Az- Zalzalah: 2

Artinya: “Dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung) nya”. Penggunaan lafaz أخرج (telah mengeluarkan) dan bumi di dalam ayat ini adalah secara hakikat.

  • Penyandaran yang kedua sisanya adalah majaz. Contohnya dalam surat Al-Baqarah: 16

Artinya: “Maka tidaklah beruntung perniagaan mereka”. Penggunaan lafaz (beruntung) dan تجارة (perniagaan) di dalam ayat ini adalah secara majaz.

  • Penyandaran yang sisi pertamanya hakikat dan sisi lainya majas. Contohnya dalam surat Ar-Ruum: 35

Artinya: “Atau pernahkah Kami menurunkan kepada mereka keterangan”. Penggunaan lafaz  أنزل  (telah  menurunkan)  di  dalam  ayat  ini  adalah  secara  haqiqat,  sedangkan penggunaan  lafaz  سلطان  (kekuasaan)  adalah  secara  majas  sehingga  ia  di  maknai  برهان (dalil/keterangan).

  • Penyandaran yang lainya hakikat pertamanya majaz. Contohnya dalam surat Al- Ma’aarij: 15-17

Artinya: “Sekali-kali tidak dapat. Sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergolak, yang mengelupas kulit kepala, yang memanggil orang yang membelakang dan yang berpaling (dari agama)” (As-Suyuthi, 2010, Nawafi, 2017, Noor, 2014, Badawi, 2017).

  1. Signifikansi Majas

Adanya keberadaan majas dalam Alquran mempunyai beberapa faedah, di antaranya:

  • Al-ittisa’ fi al-ma’na: Memperluas makna sebuah lafaz. Keberadaan majas dalam Alquran menunjukkan bahwa Bahasa Arab itu mempunyai makna yang sangat luas, tidak hanya terbatas pada satu makna saja. Oleh karena itu, Ketika makna itu tidak bisa dipahami secara hakiki, maka bisa dipahami secara majasi dan yang demikian itu banyak terdapat sebagaimana yang telah kita paparkan di
  • Al-iijaaz: yakni mempersingkat suatu kalimat atau
  • At-taukid: Adanya majas dapat menguatkan makna dari sebuah kalimat yang terdapat dalam Alquran. Ia juga menampilkan suatu makna dalam suatu gambaran yang dalam dan dekat kepada akal
  • At-tasybih: Adanya majas ini akan memperdalami makna yang muhkan dan

mutasyabih.

Demikian betapa pentingnya mempelajari makna gaya bahasa yang terdapat dalam Alquran, terlebih bagi seseorang yang mau manafsirkannya. Hal ini juga menguatkan kemukjizatannya melalui gaya bahasa yang dikandungnya seperti yang kita bahas di pembahasan ini (Ningsih, 2021).

  1. Kontroversi Ulama Terkait Hakikat dan Majaz

Setelah mengetahui makna majas itu sendiri beserta contoh-contohnya di dalam Alquran dan signifikansi mempelajarinya, akan tetapi persoalan majaz tidak terlepas dari perdebatan mengenai keberadaanya di dalam Alquran. Sebelum ke majaz, para ulama sepakat bahwa adanya hakikat dalam Alquran. Sedangkan majaz, jumhur ulama juga sepakat adanya keberadaan majaz dalam Alquran, akan tetapi beberapa ulama mengingkarinya, seperti Zahiriyah, Ibn al-Qash dari kalangan Syafiiyah dan Ibn Khuwaiz Mandad dari Malikiyah.

Mereka yang mengingkari berpedapat bahwa majaz sangat dekat dengan dusta, bahkan saudaranya. Padahal Alquran suci dari dusta. Yang kedua mereka berpendapat bahwa tidak akan menggunakan majas kecuali dalam keadaan terdesak, sedangkan hal itu tidak mungkin terjadi pada Allah Swt (Al-Mukhtar, t.th).

Dari kedua pendapat di atas, penulis lebih condong kepada pendapat yang mengatakan bahwa majas terdapat dalam Alquran dan tidak sepakat dengan pendapat kedua—Waallahu a’alam. Karena kalau majas ditiadakan dalam Alquran, maka separuh keindahan Alquran akan hilang. Para ahli Balaghah sepakat bahwa majaz lebih mengena daripada hakikat. Kemudian, kalau diwajibkan meniadakan majas dalam Alquran, maka wajib juga meniadakan alhadzf, at-taukid dan qishash (As-Suyuthi, 2010).

 Kesimpulan

Hakikat adalah sebuah kata dalam Alquran yang digunakan sesuai dengan makna aslinya dengan maksud dan tujuan tertentu tanpa adanya pergeseran makna dari aslinya. Hakikat dalam tulisan ini dibagi menjadi 4 macam, yaitu hakikat secara syariat, adat, baik umum dan khusus dan secara bahasa. Penggunaan hakikat ada ketentuannya dan sudah barang tentu ada manfaatnya, sebagai telah dibahas di atas.

Sedangkan majaz adalah lafaz yang digunakan bukan pada makna aslinya karena ada hubungan tertentu dan indikator yang mengalihkan dari makna aslinya. Majas terbagi menjadi dua macam, yaitu mufrad dan tarkib. Mufrad terbagi lagi menjadi 20 macam. Sedangkan tarkib ada 4 macam. Diantara manfaat mempelajarinya adalah al-iijaz, al- ittisa’ dan at-tasybih.

Untuk itu, bagi orang yang ingin benar-benar memahami makna Alquran terlebih bagi orang yang mau menafsirkannya, tidak cukup hanya membaca terjemahannya saja, melainkan dituntut untuk menguasai ilmu-ilmu Al-Qur’an lainnya, di antaranya ilmu hakikat dan majas. Oleh karena itu sangat dianjurkan bagi para penuntut ilmu untuk mempelajari ilmu ini.

DAFTAR PUSTAKA

 Abdullah, Nasimah, Saifulah Samsudin, and Nor Fatihah Suliman. “Masalah Semantik Dalam Terjemahan Majāz Mursal Al-Quran: Analisis Terhadap Hubungan Musabbab.” al-Irsyad: Journal of Islamic and Contemporary Issues 6, no. 1 (2021).

Al-Mukhtar, Muhammad Al-Amin bin Muhammad. Man’u Jawaz Al-Majaz. Cairo: Maktabah Ibn Taimiyah, n.d.

As-Suyuthi, Imam. Al-Itqan Fii ’Ulum Al-Quran. I. Cairo: Maktabah Dar At-Turats, 2010.

Badawi, Ahmad. “Lafaz Ditinjau Dari Segi Hakikat Dan Majaz (Wacana Pengantar Studi).” Al-Fikru: Jurnal Ilmiah 13, no. 1 (2019).

Ekawati, Ekawati. “Majaz Al-Qur’an Dalam Perspektif Sejarah (Studi Perbandingan Antara Abi Ubaidah, Al-Jahizh Dan Qadhi ‘Abdul Jabbar).” Hikmah Journal of Islamic Studies 15, no. 2 (2020).

Firdaus. “Hakikat Dan Majaz Dalam Al-Qur’an Dan Sunnah.” Jurnal Kajian dan Pengembangan Umat 1, no. 1 (2018).

Hamzan, Nafis Djuaeni. Majaz: Konsep Dasar Dan Klasifikasinya Dalam Ilmu Balaghah. Lamongan: Academia Publication, 2021.

Lubis, Turkis. “Al-Haqiqoh Wal Majaz ‘Enda Al-Wushuliin Wal-Lughowiin.” LiNGUA: Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra 3, no. 2 (2011).

Mangka, Jahada. “Hakikat Dan Majaz Dalam Qawaidh Tafsir.” Nukhbatul ’Ulum 3, no. 1 (2017).

Munawir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif, n.d.

Nawafi, Moh. Muhtador. “Eksistensi Majas Dalam Alqur’an Sebagai Khazanah Keilmuan Islam.” Al-A’raf : Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat 14, no. 2 (2017).

Ningsih, Desri. “Hakikat Dan Majaz Dalam Al-Quran.” Rainbow: Education of Islamic. Last modified 2014. http://echie-d.blogspot.com/2014/04/hakikat-dan-majaz- dalam-al-quran.html.

Noor, Muhammad Syamsudin. “Majaz Mursal Dalam Surah Al-Baqarah.” Jurnal Al- Maqayis 6, no. 1 (2014).

Sulastri, Annisa. “Hakikat Dan Majaz Beserta Contohnya Dalam Al-Quran.” Tafsiralquran.Id. Last modified 2018. https://tafsiralquran.id/hakikat-dan- majas-beserta-contohnya-dalam-al-quran/.

Tinggi Agama Islam Yasni Muara Bungo, Sekolah. Memahami Isti’arah Dalam Al- Quran. Nur El-Islam. Vol. 4, 2017.

Yarno Eko Saputro. “Hakikat Dan Majaz.” Al-Ihda’ : Jurnal Pendidikan dan Pemikiran

16, no. 1 (2022).

Zubaidillah, Muh Haris. “Haqiqah Dan Majaz Dalam Alquran.” INA-Rxiv 7, no. 1 (2018).

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top