Disusun Oleh:
H. Ahmad Ridla Syahida, Lc., M.Ag
Email: ridla.ars@gmail.com
Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Arab
STAI Al-Ma’arif Ciamis
I. Prolog
Sejatinya islam dengan ajaran yang terkadung didalamnya menjadi solusi konkrit didalam membangun sebuah stabilitas sosial sehingga terwujud sebuah komunitas yang mapan dalam berbagai aspek kehidupan. Sumber ajaran islam yaitu kitab suci Al-Quran inilah yang menjadi dasar bangunan agama yang didalamnya tercakup berbagai solusi praktis yang dapat memecahkan berbagai problematika hidup dengan langkah-langkah yang sistematis dan akurat. Seakan-akan Al-Quran menjadi obat mujarab yang mampu memberikan kesembuhan disetiap penyakit sosial yang muncul, berkembang lalu mengakar di sendi-sendi kehidupan sehingga penyakit tersebut menjadi akut dan sulit dihilangkan.
Salah satu penyakit sosial yang menjadi fenomena dikalangan masyarakat, tidak hanya di Indonesia namun di setiap belahan dunia adalah mewabahnya khamr atau istilah lain yang lebih akrab di telinga masyarakat Indonesia yaitu miras (minuman keras) dengan berbagai jenis dan nama yang disematkan padanya. Contohnya baik dari golongan A yang berkadar alkohol 01% s.d. 05% seperti Bir Bintang, Angker, dll; Golongan B yang berkadar alkohol 05% s.d. 20% seperti Anggur, Ginzano, dll; Golongan C yang berkadar alkohol 20% s.d. 50% seperti Brandy, Wisky, Jenever, Joni Walker, Vodka, dll. [1]
Regulasi pelarangan dan peredaran miras di Indonesia belum menemukan titik terang, hal ini melihat perhatian pemerintah yang dinilai tidak serius menghadapi persoalan miras, pemerintah hanya berusaha mengatur tentang peredaran dan perdagangan miras dikalangan masyarakat, bukan aturan tentang pelarangan secara mutlak. Baru-baru ini kementrian perdagangan mengeluarkan peraturan tentang larangan penjualan dan peredaran minuman beralkohol alias bir golongan A atau yang berkadar alkohol dibawah lima persen di mini market seluruh Indonesia.
Namun peraturan tersebut pada realitanya tidak mampu mencegah masyarakat dari mengkonsumsi miras dengan berbagai jenisnya. Hal ini terbukti dengan munculnya fenomena menarik yang menghiasi media nasional baru-baru ini yaitu hadirnya miras oplosan yang secara efek jauh lebih berbahaya dibandingkan miras yang beredar dipasaran. Sehingga secara mengejutkan dampak dari kondisi tersebut yaitu memakan korban di berbagai daerah khususnya jawabarat; Garut dan Sumedang, hal serupa juga terjadi di Jakarta dan bogor.
Secara historisKhamr bukanlah barang baru bagi peradaban manusia, ia hadir berabad-abad sebelum kedatangan islam, ia masuk kedalam sendi-sendi kehidupan dan tidak bisa lepas dari keseharian, bahkan ia menjadi suatu kebutuhan primer bagi sebagian golongan, mereka menggandengkan khamr dengan bermain perempuan dan berjudi. Kondisi ini yang kelak akan menjadi penyakit berbahaya yang lambat laun akan merusak stabilitas sosial, karena dari khamr inilah berbagai tindakan kriminalpun muncul; disebabkan hilangnya kesadaran dan kontrol diri (hilang akal) maka ia akan lebih mudah melakukan berbagai hal yang ia inginkan termasuk perbuatan yang dilarang agama; pencurian, perzinahan bahkan pembunuhan, disinyalir khamr-lah yang menjadi dalang dibalik tindakan kriminal tersebut.
Hal ini menjadi bukti atas sabda Rasulullah Saw:
Khamr adalah pangkal dari segala bentuk kejahatan
Fitrah manusia untuk beribadah kepada Allah menuntutnya untuk selalu berusaha menjaga diri dari berbagai hal yang dapat mengotori tujuan utama manusia diciptakan. Tidak bisa dipungkiri juga bahwa khamr dengan segala yang terkandung didalamnya mempunyai unsur yang dapat menghancurkan potensi manusia tersebut. Hal inilah sebenarnya yang terjadi ketika malam Rasulullah Saw di isra-kan dari Bait Al-Haram ke Bait Al-Maqdis mendatangi sebuah kota yang bernama iliyalalu di sajikan kepadanya dua gelas minuman: khamr (miras) dan susu. Beliaupun melihat keduanya, lalu mengambil susu. Jibril berkata: “segala puji bagi Allah yang telah menunjuki engkau kepada fitrah. Seandainya engkau mengambil khamr, niscara binasalah umatmu.“[3]
Jika dilihat Khamrsudah menjadi salah satu sajian istimewa bagi sebagian bangsa arab, tidak terkecuali bagi kaum Jahiliyah termasuk di dalamnya suku Quraisy dimana Nabi terakhir di utus, mereka adalah pencandu khamr yang dikesehariannya tidak bisa lepas darinya, namun Allah Swt melihat kondisi tersebut tidak serta merta langsung merubahnya dengan menurunkan syariat pelarangan dan pengharamnnya secara sekaligus, akan tetapi melalui serangkaian proses yang panjang dan melalui beberapa fase, hal ini merupakan perwujudan dari At-Takrimyang Allah swt karuniakan kepada ummat islam sebagai generasi akhir zaman.
Kalau sekiranya syariatdalam pengharaman khamr ini datang secara sekaligus tanpa ada pendahuluan dalam penetapannya, niscaya bangsa arab yang ada pada waktu itu tidak akan banyak yang meninggalkan dari kebiasaan meminum khamr bahkan mungkin mereka akan serentak berkata: Kami sekali-kali tidak akan meninggalkan khamr, hal ini tidaklah heran melihat dari akutnya kebiasaan yang mereka lakukan karena khamr sudah mendarah daging dalam keseharian mereka, maka syariat datang secara bertahap sebagai jawaban dalam proses pengobatan tabiat yang mereka miliki agar terbebas dari penyakit dan kebiasaan buruk ini.
Disini tampaklah Al-Manhaj As-Siyasah At-Tarbiyah dalam Al-Quran yang penuh dengan kebijaksanaan, hal ini berbeda apabila perintah atau larangan yang berhubungan dengan kaidah-kaidah At-Tashawwur Al-Imani, atau masalah yang menyangkut dengan i’tiqadiyah (tauhid dan syirik) maka islam menetapkan keputusan dan hukum secara jelas, tegas, tanpa basa-basi dan pasti (qath’i) sejak awal pentasyri’-annya, karena masalah ini menyangkut aqidah yang sangat fundamental dan menjadi pondasi keisalaman seseorang, tanpanya maka amalakan tiada artinya.
Akan tetapi bila syariat itu berhubungan dengan masalah ‘adat/kebiasaan dan tradisi atau masalah-masalah sosial kemasyarakatan maka ini harus diluruskan, oleh karena itu islam datang dengan melakukan metode gradual, menangani masalah ini dengan cara penuh kelembutan dan bertahap, dari mulai pemberlakuan hukum yang paling ringan hingga akhirnya keputusan yang paling berat dengan menyediakan kodisi rill yang memudahkan mereka melaksanakan syariat tersebut dan kelak bisa mena’atinya dengan penuh kesadaran. Maka dimulailah dengan menggerakan rasa keagamaan dan logika tasyi’ didalam jiwa kaum muslimin bahwa dosa khamritu lebih besar dari pada manfaatnya. Hal ini merupakan pengarahan bahwa meninggalkannya itu adalah lebih utama.[4]
II. Definisi Khamr
a. Etimologi
Imam Al-Qurtubi mendefinisikan khamrsecara bahasa yaitu kata yang diambil dari (خَمَرَ)yang mempunyai makna (سَتَرَ) yaitu menutupi. Bisa juga diambil dari kata (خِمَارٌ المَرْأَة) yaitu cadar yang menutupi wajah perempuan, maka setiap benda yang menutupi sesuatu bisa disebut khamr.
خَمِّرُوا أَنِيَتَكم…!)) Tutupilah bejana kalian, Sebagian ulama berpendapat kenapa disebut خمر karena ia يُخَالِط العقل yaitu membuat akal bercampur aduk dan tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, المُخَامَرة bermakna المُخالطة yaitu bercampur. [5]
Maka jelaskan kenapa disebut dengan khamr, karena khamrdapat menutup akal sehat dan mematikan hati nurani sehingga yang mengkonsumsinya kehilangan kesadarannya.
Dari pengambilan kata diatas dapat disimpulkan bahwa khamr secara bahasa adalah setiap benda yang bisa menutupi dan menghalangi.
b. Terminologi
Para ulama memasukan khamrkedalam bagian dari kajian kitab-kitab mereka, sebagiannya memberi nama dengan sebutan –الأَشْرِبَة– yaitu bentuk pluraldari kata شَرَابٌ yang bermakna: minuman.
Para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan apa yang dimaksud dengan khamr;
Pendapat pertama; menurut Imam Abu Hanifah dan ulama yang sepakat denganya diantaranya; Ibrahim al-Nakha’i, Sufyan Ats-Tsauri, dan Ibn Abi Laila berpendapat bahwa khamr adalah minuman memabukan yang diambil dari perasan anggur, adapun minuman yang memabukan dari selainya seperti hasil perasan dari kurma, biji gandum, beras, jagung dan selainnya maka itu tidak di sebut dengan khamr, akan tetapi dikategorikan kedalam istilah lain, yaitu: النبيذ /An-nabidz[6]. Maka ayat yang mengharamkan khamr hanya terbatas kepada khamr: perasan anggur saja, adapun minuman yang memabukan dari sumber yang lain yaitu nabidzmaka menurut pendapat ini mengkonsumsinya dengan kadar sedikit itu dibolehkan adapun jika mengkonsumsinya dengan banyak sehingga memabukan maka itu yang diharamkan haram.
Pendapat kedua; yaitu Jumhur Ulama (selain Imam Abu Hanifah) mendefinisikan khamr yaitu setiap jenis minuman yang dapat memabukan baik itu berasal dari perasan buah-buahan berupa anggur, kurma dan buah thin[7], atau dari perasan sejenis kacang-kacangan: gandum dan jagung atapun dari selainya yaitu seperti madu, baik minuman tersebut sudah dimasak atapun masih mentah.[8]semuanya sama dalam hukumnya baik meminumnya sedikit ataupun banyak dan memabukan atapun tidak hukumnya haram sesuai dengan nash Al- Quran. Menurut pendapat ini khamr adalah sebuah nama untuk segala jenis benda yang dapat memabukan.
Ulama yang sependapat dengan ini berdalil secara lughah dan hadits;
Adapun secara bahasa, Khamritu diartikan sebagai sesuatu yang dapat menutupi akal begitupun dengan nabidz dapat menutupi akal sehat karena dapat memabukan ketika terlalu banyak dalam mengkonsumsinya. Lalu para shahabat yang hidup pada masa itu mereka sangat memahami dengan maksud dari kata khamr, karena mereka orang yang paling faham dengan bahasa Al-Quran. Bahwa para shahabat menamai khamruntuk segala sesuatu yang dapat memabukan baik itu dari perasan anggur, kurma, gandum, jagung ataupun dari yang lainnya.
Dalil dari hadits: banyak sekali hadits yang menerangkan tentang keharaman setiap jenis minuman yang dapat memabukan diantaranya hadits mutawattir yang di riwayatkan oleh enam belas shahabat diantaranya Umar ibn Khatab dan Ibn Umar 5:
Setiap yang memabukan itu adalah khamr, dan setiap khamr hukumnya haram
Dan juga hadits:
Sesuatu yang banyaknya memabukan, sediktnyapun haram
Setelah melihat uraian dari kedua pendapat diatas maka para ulama lebih menguatkan pendapat kedua yaitu pendapat jumhur ulama, karena para shahabat ketika mendengar ayat pengharaman khamr mereka memahami darinya pengharaman nabidz dan juga karena para shahabat adalah orang yang paling memahami bahasa arab serta mengerti dari setiap hukum yang terkandung dari ayat tersebut, hal ini dikuatkan juga dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari 0:
(حُرِّمَتْ عَلَيْنَا الْخَمْرُ حِينَ حُرِّمَتْ وَمَا نَجِدُ ، يَعْنِي بِالْمَدِينَةِ – خَمْرَ الأَعْنَابِ إِلاَّ قَلِيلاً وَعَامَّةُ خَمْرِنَا الْبُسْرُ وَالتَّمْرُ)[11]
Khamr telah diharamkan atas kami, ketika hal itu diharamkan maka kami tidak mendapati jenis khamr dari (perasan) anggur di Madinah kecuali hanya sedikit, ketika itu kebanyakan khamr kami terbuat dari perasan busr (kurma yang masih muda) dan tamr (kurma kering).
Dengan riwayat ini para ulama dan ahli sejarah sepakat bahwa ketika waktu di haramkanya khamryaitu di Madinah, para shahabat tidak mempunyai cadangan khamr dari jenis perasan anggur, akan tetapi para shahabat meminum khamr dari jenis nabidz, maka dengan segera mereka menghancurkan setiap bejana ataupun tempat penyimpanan khamr yang mereka miliki sebagai bentuk ketaatan kepada Allah swt dan keyakinan mereka bahwa itu semua itu termasuk kedalam khamr, dan Rasulullah pun menyepakati akan hal tersebut.[12]
III.Kronologis Pengharaman Khamr
Menurut para ulama proses ini diklasifikasikan menjadi 4 tahapan:
Pertama: Surat An-Nahl ayat 67,[13]
}وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالْأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ{
“Dan dari buah kurma dan anggur kamu membuat minuman yang memabukan dan rezeki yang baik. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal”
Ayat ini di turunkan di Makkah sebelum Rasulullah )r) berhijrah, oleh sebab itu dari ayat ini bisa dijadikan satu informasi bahwa ketika diturunkannya ayat ini sebagian kaum musliminin sudah meminum khamrdan dihalalkan bagi mereka[14]. Maka meminum khamr pada fase ini menjadi satu aktifitas soal yang digemari pada waktu itu. Oleh karenanya pengarang Tafsir Al-Kasyaf Imam Al-Zamakhsyari [15]dan sebagian ulama berpendapat bahwa ayat ini merupakan ayat pertama yang di turunkan dalam proses pengharaman khamr.
Para mufasir menganalilis ayat ini bahwa السَكَر وَالرّزْق الحَسَن; perbedaan dalam pemberian sifat diantara dua kata ini; dimana الرزق dalam ayat ini Allah sifati dengan الحسن/baik, hal ini mengandung makna bahwa memakan buah-buahan yang tidak memabukan, itu yang disifati dengan rizki yang baik, berbeda dengan kata السَكَر karena tidak disifati dengan kata الحسن, maka ini menjadi satu pemberitahuan bahwa diantara keduanya tidaklah sama sehingga keduanyapun memiliki unsur yang berbeda, demikian juga perbedaan sifat diantara keduanya menjadi bentuk penjelekan perihal السَكَرdalam rangkaian ayat ini.
{ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ }
Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.
Memperhatikan akhir dari penggalan ayat ini Allah swt tutup dengan penjelasan bahwa dalam minuman dan makanan yang telah Allah swt anugrahkan kepada manusia menjadi tanda atas kebesaran-Nya bagi setiap insan yang mau menggunakan akalnya untuk berfikir dan merenungkan kekuasaan-Nya di alam semesta ini, penyebutan ‘akal’disini menjadi satu keserasian karena kemulian seorang manusia dilihat dari bagaimana ia mempergunakan akalnya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tuntunan syara, makan diharamkanlah khamr demi menjaga kesehatan akal agar bisa berguna sesuai dengan fungsinya.
Kedua: Surat Al-Baqarah Ayat 219,
}يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ{
Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamr dan judi. Katakanlah, “pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya”. Dan mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakan. Katakanlah ” kelebihan (dari apa yang di perlukan)”. Demikianlah Allah menerangkan ayat ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkan.
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat ini merupakan ayat pertama yang turun dalam proses pengharaman khamr bukan ayat ke 67 dari surat An-Nahl. Hal ini dikuatkan dengan dalil yang mereka utarakan bahwa asbab an-nuzul ayat ini ditenggarai oleh permintaan fatwa dari Umar Ibn Khatab, Muadz Ibn Jabal 5 dan segolongan dari kaum Anshar seraya mendatangi Rasulullah )r), mereka berkata: “Wahai Rasulullah berilah kami keputusan atas hukum meminum khamr dan berjudi karena keduanya dapat menghilangkan akal sehat dan menguras harta”. Maka turunlah ayat ini.
Dan di kuatkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah 0:
“Ketika Rasulullah )r) datang di Madinah saat berhijrah, penduduknya sudah terbiasa meminum Khamr dan memakan hasil dari berjudi, sehingga sebagian para shahabat menanyakan kepada Rasulullah saw tentang hukum keduanya, maka turunlah ayat ini, lalu berkata sebagian dari mereka: ‘Perkara ini (khamr dan berjudi) tidaklah diharamkan bagi kami, akan tetapi hanya dikatakan bahwa padanya terdapat اثم كبير/ dosa yang besar’, sehingga mereka masih membiasakan meminum khamr dan berjudi.
Permulaan ayat ini menjelaskan bahwa para shahabat menanyakan bagaimana hukum dari segi halal dan haram pengunaan khamr, bukan dari sisi zat/kandungan yang dimiliki khamr tersebut karena mereka sudah faham dan mengerti akan hakikat dari padanya.
Dengan hadirnya ayat ini status hukum khamr masih belum sampai tahap final, Allah swt hanya memberikan isyarat dan benang merah bahwa dalam khamr terdapat sebagian manfaat bagi manusia, akan tetapi dosa yang dihasilkan dari keduanya jauh lebih besar dari pada manfaatnya. Oleh karenanya sebagian dari sahabat masih membiasakan meminum khamr dan sebagian yang lainnya sudah mulai meninggalkannya.
Nash ini merupakan langkah pertama dalam pengharaman khamr, dimana didalamnya Allah simpan dua unsur yang saling bertentangan yaitu dosa dan manfaat, oleh karena itu dalam permasalahan ini yang menjadi acuan penghalalan dan pengharaman itu ialah sisi yang paling dominan diantara salah satunya yaitu unsur kebaikan/pahala atau kejelekan/dosa. Apabila dosa khamritu lebih besar daripada manfaatnya maka hal itu menjadi ‘illat –alasan- pengharaman dan pelarangannya, meskipun pengharaman dan pelarangan ini disebutkan secara implisit.
Oleh karenanya, jika satu perkara sisi kerusakan yang ditimbulkannya lebih besar dari pada sisi kemanfaatannya maka wajib kita menahan dan meninggalkan dari perkara tersebut, hal ini selaras dengan qaidah ushul fiqh yang mengatakan:
دَرْءُ المَفَاسِد مُقَدّمٌ علي جَلبِ المَصَالِح))
Meninggalkan perkara yang dapat merusak itu lebih didahulukan daripada mendatangkan perkara yang bisa memberi manfaat
Sebagian dari sisi kerusakan yang ditimbulkan oleh khamr adalah dapat memepengaruhi (menekan) sususan syaraf pusat sehigga seseorang bisa lebih berani, lebih agresif dan cenderung banyak menimbulkan tindak pidana[16]. Lebih lanjut efek miras bisa menjalar kepada hilangnya kesadaran diri, menurunkan daya imunitas dan stamina tubuh serta kekuatan berfikir, merusak akal dan moralitas, mengilangkan rasa malu, dan menimbulkan berbagai permasalahan kompleks yang kelak hadir didalam satu lingkungan sosial tersebut.
Adapun anggapan sebagian golongan yang membolehkan mengambil manfaat dari khamr untuk dijadikan obat berdalil dengan ayat ini maka pendapat ini tidak bisa di terima, karena Allah swt tidak menjadikan obat bagi penyakit yang diderita hambanya itu terbuat dari unsur yang secara nash telah Allah swt haramkan.
Sebagaimana Rasulullah )r) bersabda:
Allah tidah menjadikan obat bagi kalian dari apa yang telah Allah haramkan atas kalian
Dikarenakan khamrmerupakan unsur yang telah Allah swt haramkan maka begitupun berobat dengan perkara haram, maka hukumnya haram menurut syara.
Dalam riwayat lainpun Rasulullah )r) pernah mengomentari tentang pengobatan menggunakan khamr, beliau bersabda:
(إنه ليس بدواء ولكنه داء)
Sesungguhnya khamr bukanlah sebuah obat melainkan adalah penyakit.
Hadis ini sebagai sanggahan Rasulullah )r) kepada Thariq Ibn Suwaid Al-Ja’fi karena dia mengatakan:
Sesungguhnya aku membuatnya (khamr) untuk dijadikan obat
Walaupun (Hanafiah) pengikut Imam Abu Hanafi memperbolehkan penggunaan khamr ataupun unsur lainnya yang tidak diperbolehkan dalam pandangan syara untuk keperluan medis karena alasan dlarurah, dengan syarat benar-benar mengetahui dan meyakini bahwa di dalamnya ada obat/penawar yang bisa menyembuhkan penyakit yang diderita serta sudah tidak menemukan alternatif lain yang bisa dijadikan obat kecuali barang tersebut, pendapat ini disandarkan kepada firman Allah swt:
Dan sungguh Allah telah menjelaskan kepada kalian apa yang diharamkannya atas kalian kecuali kalian ada dalam keadaan terpaksa (untuk mengkonsumsinya.) [20]
Ketiga: Surat An-Nisa Ayat 43
}يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا{
Wahai orang ang beriman! Janganlah kamu mendekati shalat, ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati jalan saja, sebelum kamu mandi (mandi junub). Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau sehabis buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan debu itu. Sungguh, Allah Maha Pemaaf dan Maha Pengampun.
Ayat ini turun dilatar belakangi oleh satu peristiwa yang di rekam oleh Imam Abu Daud, Imam At-Tirmidzi, Imam An-Nasai, dan Imam Al-Hakim dalam kitab mereka yang diriwayatkan dari shahabat Ali Ibn Abi Thalib 0, ia berkata: ‘Bahwa suatu ketika Abdurrahman Ibn ‘Auf 0menyajikan hidangan ditengah-tengah kami, lalu ia mengajak kami untuk meminum sajian khamr yang dihidangkan, hingga datanglah waktu shalat[21]lalu saya disuruh untuk mengimami mereka, maka ketika saya membaca surat Al-Kafirun, saya membaca:
} قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ $أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ{
Katakanlah, “Wahai orang orang kafir, aku akan menyembah apa yang kamu sembah”
Lalu turunlah ayat:
} يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ{
“Wahai orang ang beriman! Janganlah kamu mendekati shalat, ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan“.
Dampak dari pelarangan ayat ini, para shahabat memahami bahwa unsur pelarangannya hanya sebatas perihal mendekati shalat dalam kondisi mabuk bukan pelarangan secara muthlaq, Secara kuantitas setelah turunnya ayat ini peminum khamr dari kaum mukminin semakin berkurang walaupun belum semua para sahabat rela untuk meninggalkannya sehingga para shahabat masih berusaha untuk menemukan celah agar bisa meminumnya diluar shalat sebangai mana konteks pelarangan dalam ayat ini. Maka mereka menunda meminum khamr hingga datang waktu shalat isya, tatkala mereka selesai melaksanakan shalat isya mereka kembali meminum khamr seperti biasanya.[22]
Dengan turunya ayat ini menjadi satu tahapan persiapan dan pendahuluan untuk memasuki marhalah terakhir dalam proses tadarruj pengharaman khamr hingga akhirnya diharamkan secara total.
لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ..!, kebanyakan ahli tafsir sepakat bahwa makna shalat disini dibiarkan sesuai dengan makna hakikinya, yaitu; ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, tanpa harus merubah maknanya kedalam arti yang lain.
Sedangkan Imam Asy-Syafi’i, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, dan Al-Hasan Al-Bashri berpendapat bahwa kalam disini ada حذف مضاف/ penghilangan gandengan kata sebelumnya dan ini merupakan majaz yang sudah tersebar dikalangan bangsa arab. sehingga maksud dari rangkaian kalimat ini:لَا تَقْرَبُوا مواضعالصَّلَاة َ/ janganlah kalian mendekati tempat-tempat shalat yaitu: Masjid, mereka memberi alasan dengan penafsiran pada penggalan ayat وَصَلَوَاتٌ [23] bahwa kata ini menurut Ibn Abbas adalah sinagog/tepat ibadah orang yahudi, karena jika tidak dimaknai seperti itu maka tidak shah pengecualian/istitsna pada إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ/ kecuali sekedar melawati jalan saja yang mana kalimat sebelumnya menjelaskan pelarangan orang yang junub untuk menghampiri masjid dalam kondisi tersebut, oleh karenanya mereka memalingkan lafadz الصَّلَاةَ kepada makna tempat shalat yaitu Masjid.[24]
حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ, yaitu jangan mendekati perkara shalat dalam kondisi mabuk, karena orang yang mabuk tidak mengerti apa yang dia ucapkan. Hal ini menegaskan bahwa didalam rangkaian shalat memuat bacaan al-quran, munajat dan dzikir yang lainya itu semua membutuhkan kesadaran penuh dan penguasaan/kontrol diri secara utuh, adapun makna konteks pelarangan dalam ayat ini yaitu: janganlah kalian shalat sebelum kalian sampai kepada derajat kesadaran dan pemahaman penuh (atas bacaan shalat) kalian sehingga kalian bisa khusyu dalam bermunajat dihadapan Sang Pencipta dan Penguasa Alam Semesta.[25]
Keempat: Surat Al-Maidah ayat 90-91
}يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ $ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ{
Wahai orang orang yang beriman! Sesungguhnya meminum minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhhiah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung. Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu dan menghalang halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan shalat, maka tidaklah kamu mau berhenti!
Sampailah pada fase terakhir dari rangkaian proses pengharaman khamr, dimana dalam fase ini tidak ada satu bentuk keringanan dan pengecualian untuk memanfaatkan khamrdalam bentuk apapun, bahwa perkara ini Allah swt haramkan secara langsung dan dikategorikan sebagai perbuatan syaitan. Bahkan peminumnya setelah turun ayat ini harus merasakan had sebagai balasan atas pelanggaran hukum Allah swt.
Pengharaman khamr ini terjadi pada bulan syawal tahun ke tiga hijriah setelah peristiwa perang Uhud, akan tetapi dalam Fath Al-Bari Imam Ibn Hajar Al-Astqalani menjelaskan ihwal waktu pengharaman ini terjadi pada tahun ke delapan hijriah.[26]Imam Al-Bukhari 0menjelaskan, bahwa setelah para shahabat mengetahui khamr diharamkan, maka para shahabat pun membuang semua khamr pada tempat persedian yang ada didalam rumah mereka, hingga jalanan Madinah basah dengan khamr tersebut.[27]
Jika kita perhatikan kisah para shahabat ketika waktu diharamkannya khamr sebagaimana direkam dalam sebuah hadis yaitu:
كُنْتُ سَاقِىَ الْقَوْمِ فِى مَنْزِلِ أَبِى طَلْحَةَ فَنَزَلَ تَحْرِيمُ الْخَمْرِ فَأَمَرَ مُنَادِيًا فَنَادَى فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ اخْرُجْ فَانْظُرْ مَا هَذَا الصَّوْتُ قَالَ فَخَرَجْتُ فَقُلْتُ هَذَا مُنَادٍ يُنَادِى أَلاَ إِنَّ الْخَمْرَ قَدْ حُرِّمَتْ فَقَالَ لِى اذْهَبْ فَأَهْرِقْهَا قَالَ فَجَرَتْ فِى سِكَكِ الْمَدِينَةِ.[28]
Dari Anas bin Malik 0 ia berkata: “Aku adalah penuang khamr bagi orang-orang di rumah Abu Tolhah lalu turunlah ayat tentang pengharaman khamr maka Rasulullah )r (menyuruh seseorang untuk menyerukan kepada manusia (akan pengharaman khamr), lalu Abu Tolhah berkata kepadaku “Lihatlah suara apakah itu?” maka akupun keluar, lalu kukatakan kepadanya ini adalah suara seorang penyeru yang menyerukan bahwasanya khamr telah diharamkan. Lalu ia berkata kepadaku, “Pergilah engkau dan tumpahkanlah khamr”, maka akupun keluar lalu ditumpahkanlah khamr di jalan-jalan kota Madinah)
Lihatlah bagaimana para shahabat dengan mudahnya bagi mereka untuk berhenti dari kebiasaan meminum khamrpadahal diantara mereka ada yang sudah menjadi pecandu khamr selama bertahun-tahun. Dan cukup bagi Rasulullah )r ( untuk mengehentikan mereka dari kebiasaan ini dengan mengutus seorang pemberi kabar akan diharamkannya khamr. Begitu kuatkannya keimanan yang menancap dalam qalbu para shahabat sehingga dengan kesadaran diri bisa melepaskan adat yang sudah mendarah daging dalam diri mereka. Semuanya itu merupakan wujud dari pembuktian akan ketaataan kepada Allah swt dan Rasul-Nya.
Sebagian ulama memberikan informasi tetang Asbab an-nuzul dari proses turunnya ayat ini, dilatarbelakangi oleh satu peristiwa yaitu ketika ‘Utban Ibn Malik 0mengundang para sahabat untuk makan bersama, dan salah satu yang hadir diantaranya Sa’ad Ibn Abi Waqas 0, hingga mereka makan dan minum khamrsampai mabuk, lalu mereka medendangkan syair-syair sambil membanggakan kaumnya hingga kaum Muhajirin mencela dan menghina kaum Anshar yang hadir pada waktu itu. Kemudian salah seorang dari kalangan Anshar mengambil sebuah tulang unta dan memukul hidung Sa’ad hingga terluka sebagai bentuk pembelaan kepada kaumnya, sehingga kejadian ini dilaporkan kepada Rasulullah )r), lalu turunlah ayat ini.
Umar Ibn Khatab 0pun berdoa untuk kesekian kalinya kepada Allah swt sebagai respon dari kejadian tersebut karena dinilai perkara ini memberikan efek keji bagi kaum muslimin:
(اللهم بين لنا في الخمر بيانا شافيا)
Ya Allah, jelaskanlah kepada kami tentang hukum khamr dengan sejelas jelasnya.
Maka tatkala turun ayat ini (إِنَّمَا الْخَمْر ) sampai ayat (فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ/maka tidaklah kalian mau berhenti!) Umar Ibn Khatab 0 berkata – إنتهينا يا رب – Ya Tuhan, kami berhenti.[29]
Adapun hukum pengharaman khamr dalam ayat ini dapat dilihat dari beberapa sisi:
Pertama: Ayat ini diawali dengan إِنَّمَا dimana memberikan faedah pengkhususan dan pembatasan. yang hal ini menunjukan tidak ada sifat dalam khamr kecuali لرِّجْس Dan jika kita memeriksa lafal الرِّجْس dalam Al-Qur’an maka kita akan dapati tidaklah Allah swt menyifati dengannya kecuali pada perkara-perkara yang sangat buruk, diantaranya firman Allah swt:
maka jauhilah olehmu barhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan yang dusta.
Kedua: Khamr digandengkan dengan perbuatan keji lainnya yang semuanya dikategorikan sebagai dosa besar yaitu judi, mengundi nasib, dan penyembahan terhadap berhala.
Ketiga: Khamrdikategorikan sebagai رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ/ perbuatan keji yang temasuk kedalam perbuatan syaitan, ini merupakan hal yang paling jelek dan nista menurut syara’ karena syaitan adalah makhluk yang secara jelas oleh Allah swt di perintahkan untuk menjauhinya. dan penamaan رِجْسٌ ini menandakan bahwa khamr adalah najis[31], karena penggunaan kata رِجْسٌdalam perkataan orang arab mengandung arti bahwa sesuatu itu adalah najis dan kotor baik itu secara indrawi ataupun abstrak. Sehingga didalamnya mengandung efek hukuman.
Keempat: Perintah untuk menjauhinya: فَاجْتَنِبُوه…!ُ, ini merupakan bentuk perintah penjauhan paling keras dari pada sekedar menggunakan redaksi pelarangan atau lafadz pengharaman secara eksplisit.
Kelima: Allah menjanjikan bagi setiap orang yang menjauhinya dengan pahala dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Keenam: Allah menerangkan bahwa pada prilaku menyimpang ini mengandung kerusakan yang akan menimbulkan penyakit baik secara individu maupun sosial, Allah berfirman :
}إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ{
setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu dan menghalang halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan shalat
oleh karena itu Rasulullah )r) bersabda:
Khamr adalah pangkal dari segala bentuk kejahatan
Dalam riwayat lain:
Pecandu khamr seperti penyembah berhala
Ketujuh: Yang terakhir Allah swt tutup ayat ini dengan dorongan untuk menghentikan perbuatan ini dengan pertanyaan sebagai bentuk penghinaan dengan firman-Nya فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ -maka tidakkah kalian berhenti (dari mengerjakan pekerjaan itu)- yang menunjukan ancaman keras bagi peminum khamragar dengan segera meninggalkan perbuatan tersebut.
IV.Had/Hukuman Peminum Khamr
Dalam hukum positifyang berlaku di Negara Indonesia Raya, dan Negara lain yang mengadopsi hukum ini, bahwa meminum khamr tidak dikategorikan sebagai perbuatan pidana disebabkan perbuatan itu sendiri. Artinya peminum khamr tidak dihukum hanya karena dia mabuk. Hukum positif memandang suatu tindakan pidana hanya dilihat dari sudut kerugian yang ditimbulkan pelakunya. Dalam kasus peminum khamr di ruangan tertutup dan hanya dia sendiri yang mabuk, sulit sekali mencari kerugian dari akibat perbuatan tersebut. Lain halnya kalau ia melakukannya di tempat umum barulah hal tersebut di perhitungkan di hadapan hukum sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Dan hingga saat inipun Negara Indonesia belum ada peraturan hukum yang mengatur bahwa peminum miras dapat dikenakan sanksi pidana.[34]Hal ini mendorong para produsen dengan leluasa memasarkan produknya ditempat-tempat umum yang secara lokasi dianggap stategis dan bisa dijangkau oleh semua lapisan masyarakat. Melihat dampak yang begitu besar sudah saatnya pemerintah mengeluarkan undang-undang dan peraturan khusus tentang miras sehingga bisa menekan aktifitas tersebut.
Berbeda dengan Islam, agama samawi ini memberikan hukuman keras bagi peminum khamr sebagai tindakan preventif dan pengendalian iklim sosial agar tetap kondusif terjauh dari berbagai penyakit individu yang bisa berdampak terhadap kerusakan interaksi sosial. Islam juga telah melarang, mengharamkan serta menghukumpemabuk sejak awal meminumnya tanpa harus menunggu mabuk ataupun tidaknya, menyendiri ataupun dilakukan bersama-sama di tempat umum, baik itu merugikan orang lain ataupun tidak. Maka dalam pandangan syariat semuanya ini sudah dianggap pelanggaran karena bertentangan dengan hukum yang Allah tetapkan. [35]
Hanafiah (pengikut Imam Abu Hanifah) mengkategorikan hukuman bagi peminum khamr kedalam dua jenis:
Pertama: Had As-Syarab, yaitu hukuman yang khusus di jatuhkan kepada setiap peminum khamr.[36]Baik meminumnya banyak ataupun sedikit dan tidak bersandar kepada efek memabukan ataupun tidak, maka menurut pendapat ini hukumannya tetap berlaku. Bersandar kepada sabda Rasulullah )r):
Barangsiapa yang meminum khamr maka cambuklah
Kedua: Had Ss-Sakr yaitu had yang dijatuhkan kepada orang yang mabuk, diakibatkan oleh minuman selain khamryang terbuat dari perasan anggur.
Akan tetapi jumhur ulama tidak membedakan diantara peminum khamr atapun peminum jenis lainya, dan mengkategorikankhamr kedalam setiap jenis minuman yang dapat memabukan, baik sedikit atapun banyak maka secara nash hukumnya haram sama dengan minuman hasil perasan anggur. Berdasarkan ucapan Rasulullah )r):
Setiap yang memabukan itu adalah khamr, dan setiap khamr hukumnya haram.
Adapun مِقدَارُ الحَد atau ukuran dalam pemberian hukuman para ulama juga berikhtilaf dalam menentukannya, perbedaan pendapat ini disebabkan karena Rasulullah )r) tidak memberikan kepastian dalam menentukan ukuran hukuman bagi peminum khamr.
Oleh karena itu Jumhur fuqaha mengatakan bahwa hukuman pagi peminum khamr adalah 80 kali deraan, hal ini disandarkan dari perkataan Imam Ali Ibn Thalib 0:
Barang siapa meminum (khamr) maka ia akan mabuk, dan jika mabuk maka ia akan mengigau, dan jika mengigau ia akan membuat kebohongan (fitnah) dan had/hukuman bagi pembuat kebohongan (fitnah) adalah 80 deraan.
Adapun Syafi’iyah (pengikut Imam Syafi’i) berpendapat bahwa had bagi peminum khamr dan semua jenis minuman yang dapat memabukan adalah 40 cambukan, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari 0:
Rasulullah mendera peminum khamr dengan pelepah kurma dan sandal sebanyak 40 kali.
V. Syarat Diberlakukannya Had
Had bisa di terapkan jika sudah memenuhi syarat-syarat berikut:
- Berakal, maka orang yang gila meskipun dia meminum khamr sampai mabuk tidak wajib di had,
- Baligh, anak-anak yang belum sampai usia dewasa maka tidak wajib di had
- Muslim, tidak berlaku hukuman bagi orang kafir,
- Tidak dipaksa untuk meminumnya, yakni had berlaku hanya bisa peminum atas keinginannya sendiri,
- Tidak ada dalam kondisi darurat, contohnya untuk menyelamatkan jiwa dari kematian karena kehausan dan hanya itu yang ada maka ia dibolehkan untuk meminumnya dengan batasan ukuran hanya untuk mempertahankan hidup,
- Mengetahui bahwa yang diminum adalah khamr, maka jika ia meminumnya karena menyangka bahwa itu bukan khamr maka tidak wajib dikenakan had,
7. Mengetahui bahwa khamr hukumnya haram, maka jika ia meminum khamr karena dia tidak mengetahui hukumnya; Malikiah (pengikut Imam Malik) berbeda pendapat, apakah alasannya diterima apa tidak?, akan tetapi ulamaselainnya berpendapat bahwa, alasan tersebut (tidak mengetahui suatu hukum syara’) tidak bisa diterima bagi orang yang hidup di tengah-tengah kaum muslimin.[41]
V. Epilog
Dari pembahasan ini maka bisa di simpulkan bahwa islam mengharamkan semua jenis minuman yang dapat memabukan baik itu terbuat dari perasan anggur atapun selainya dan wajib memberikan had bagi orang yang mengkonsumsinya. Islam juga tidak membedakan diantara perkara yang dapat memabukan yang telah ada pada masa lalu, ataupun perkara yang dapat memabukan pada zaman modern sekarang dimana jenis, bentuk serta macamnya sudah sangat banyak dengan nama dan istilah yang baru.
Begitupun cara mengkonsumsinya sangat beragam, bukan hanya diminum tapi bisa juga di makan, di hisap dan di suntik. Seperti wiski, ganja, heroin, kokain dan berbagai macam jenis lainya, maka semua hukumnya haram tanpa pengecualian karena adanya ‘illah’ atau alasan yang sama yaitu benda tersebut dapat ‘memabukan’.
Kondisi zaman sekarang ini sudah diprediksi oleh Rasulullah saw 14 abad yang lalu:
Sungguh akan ada golongan dari umatku yang meminum khamr lalu mereka menamakan khamr dengan nama yang lain.[]
Daftar Pustaka
Abi ‘Abdillah Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abi Bakr Al-Qurthuby, Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran, Juz 5, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, cet. 1, 2006)
Abi ‘Abdillah Muhammad Ibn Isma’il Al-Bukhari, Al-Jami’ Ash-Shahih Al-Musnad min Hadits Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamih, Juz 4, (Cairo: Al-Maktabah As-Salafiah, cet. 1, 1400 H)
Abi ‘Abdirrahman Ahmad Ibn Syu’aib Ibn ‘Ali An-Nasai, Sunan An-Nasai, (Riyad: Maktabah Al-Ma’Arif, cet. 1, t.t)
Abi Al-Husain Ibn Al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Riyad: Bait Al-Afkar Ad-Dauliyah, 1998)
Abi Ja’far Muhammad Ibn Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari: Jami’ Al-Bayan ‘an Tawil ai Al-Quran, Juz 7, (Cairo: Dar Hajar, cet. 1, 2001)
Abi Ja’far Muhammad Ibn Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari: Jami’ Al-Bayan ‘an Tawil ai Al-Quran, Juz 8, (Cairo: Dar Hajar, cet. 1, 2001)
Abi Qasim Mahmud Ibn ‘Umar Az-Zamakhsyari, Al-Kasyaf, Juz 2, (Riyad: Maktabah Obeikan, cet. 1, 1998)
Abi Qasim Mahmud Ibn ‘Umar Az-Zamakhsyari, Al-Kasyaf, Juz 3, (Riyad: Maktabah Obeikan, cet. 1, 1998)
Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, Jilid 5, (Kuwait: Wizarah Al-Auqaf wa As-Su’un Al-Islamiyah, cet. 2, 1983)
Fuad Moh. Fachruddin, Haram atau Halal Bier?, (Bandung: Diponegoro, cet. 3, 1993)
Jalaluddin As-Suyuty, Ad-Dur Al-Mantsur fi At-Tafsir bi Al-Mantsur, Juz 9, (Cairo: Markaz li Al-Buhuts wa Ad-Dirasat Al-‘Arabiyah wa Al-Islamiyah, cet. 1, 2003)
Malik Ibn Anas, Al-Muwatha, Jilid 4, (Dubai: Maktabah Al-Furqan, 2003)
Muhammad Sayyid Thanthawi, At-Tafsir Al-Wasith Li Al-Quran Al-Karim, Juz 1, (Cairo: Dar As-Sa’adah.Cairo, t.t)
Oe. Rendra Widjaya, Visi Refolusi: Nyatakan Perang Terhadap Narkoba, (Bandung: Humaniora, cet. 1, 2004)
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam: Fiqh Jinayah, (Bandung: Pustaka Setia, 2010)
Sayyid Quthb, Fi Zhilal Al-Quran, terj. As’ad Yasin dan Abdul Aziz Salim Basyarahil, Jilid 2, (Jakarta: Gema Insani, cet. 4, 2008)
Wahbah Zuhaili, Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islami Wa Al-Qadhaya Al-Mu’ashirah, Juz 6, (Damaskus: Dar Al-Fikr, Damaskus, 2010)
Wahbah Zuhaili, Tafsir Al Munir fi Al ‘Aqidah wa Asy-Syari’ah wa Al-Manhaj, Juz 3, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 2003)
[1] Oe. Rendra Widjaya, Visi Refolusi: Nyatakan Perang Terhadap Narkoba, (Bandung: Humaniora, cet. 1, 2004), h. 25
[2] Diriwayatkan oleh imam An-Nasai, dari Usman Ibn Affan secara mauquf. Lihat: Abi ‘Abdirrahman Ahmad Ibn Syu’aib Ibn ‘Ali An-Nasai, Sunan An-Nasai, (Riyad: Maktabah Al-Ma’Arif, cet. 1, t.t), h. 849
[3] Lihat selengkapnya: Abi ‘Abdillah Muhammad Ibn Isma’il Al-Bukhari, Al-Jami’ Ash-Shahih Al-Musnad min Hadits Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamih, Juz 4, (Cairo: Al-Maktabah As-Salafiah, cet. 1, 1400 H), h. 11
[4] Sayyid Quthb, Fi Zhilal Al-Quran, terj. As’ad Yasin dan Abdul Aziz Salim Basyarahil, Jilid 2, (Jakarta: Gema Insani, cet. 4, 2008), h. 107
[5] Abi ‘Abdillah Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abi Bakr Al-Qurthuby, Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran, Juz 5, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, cet. 1, 2006), h. 433-434
[6] Dinamakan nabidz sebab ia diambil dari perasan korma atau anggur lalu dimasukan/dilemparkan kedalam bejana kemudian dimasukan air kedalamnya dan dibiarkan sampai mendidih. Adapun secara leksikal kata ini mengandung makna sesuatu yang dilemparkan. Lihat:Fuad Moh. Fachruddin, Haram atau Halal Bier?, (Bandung: Diponegoro, cet. 3, 1993), h. 19
[7] Buah Thin (Ficus carica) termasuk famili Moraceae, ordo Rosales dan kelas Magnoliopsida yang hidup di wilayah Timur Tengah seperti Jazirah Arab, Palestina dan Mesir.
[8] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, Jilid 5,(Kuwait: Wizarah Al-Auqaf wa As-Su’un Al-Islamiyah, cet. 2, 1983), hal. 11
[10] Diriwayatakan oleh Imam Ahmad, Imam Abu Daud, Imam At-Tirmidzi, dan di Shahihkan oleh Ibn Hibban dari Jabir, Dan Imam Ahmad, Imam An-Nasai dan Ibn Majah dari Abdullah Ibn Umar 4
[11] Abi ‘Abdillah Muhammad Ibn Isma’il Al-Bukhari, Al-Jami’ Ash-Shahih Al-Musnad min Hadits Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamih, Juz 4, (Cairo: Al-Maktabah As-Salafiah, cet. 1, 1400 H), h. 12
[12] Muhammad Sayyid Thanthawi, At-Tafsir Al-Wasith Li Al-Quran Al-Karim, Juz 1, (Cairo: Dar As- Sa’adah.Cairo, t.t), h. 481
[13]Ibn Umar, Ay-Sya’bi, Mujahid, Qatadah, Robi Ibn Anas dan sebagian ulama yang lainnya menyanggah pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini sebagai ayat pertama dalam pengharaman khamr; mereka berpendapat bahwa ayat ini tidak ada kaitannya dengan tema khamr, dan mereka menginterpretasikan kata سَكَرًا dengan makna lain, yaitu; setiap apa yang Allah halalkan dari buah kurma dan anggur yang tidak mempunyai efek memabukan dan itu yang dinamakan dengan رِزْقًا حَسَنًا/rezeki yang baik, dan huruf athaf (و)yang menjadi konjungsi diantara keduanya adalah merupakan bentuk عطف التفسير/penjelas dari kalimat sebelumnya.
[14] Jalaluddin As-Suyuty, Ad-Dur Al-Mantsur fi At-Tafsir bi Al-Mantsur, Juz 9, (Cairo: Markaz li Al-Buhuts wa Ad-Dirasat Al-‘Arabiyah wa Al-Islamiyah, cet. 1, 2003), h. 69
[15] Abi Qasim Mahmud Ibn ‘Umar Az-Zamakhsyari, Al-Kasyaf, Juz 3, (Riyad: Maktabah Obeikan, cet. 1, 1998), h. 448-449
[16] Oe. Rendra Widjaya, Visi Refolusi: Nyatakan Perang Terhadap Narkoba, (Bandung: Humaniora, cet. 1, 2004), h. 25
[20] Wahbah Zuhaili, Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islami Wa Al-Qadhaya Al-Mu’ashirah, Juz 6, (Damaskus: Dar Al-Fikr, Damaskus, 2010), h. 104.
[21] Imam Ibn Jarir meriwayatkan bahwa shalatyang dilakukanoleh para shahabat pada waktu itu adalah shalat Maghrib dan shahabat yang mengimaminya adalah Abdurrahman Ibn ‘Auf sebelum diharamkannya khamr secara mutlaq. Lihat selengkatpnya: Abi Ja’far Muhammad Ibn Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari: Jami’ Al-Bayan ‘an Tawil ai Al-Quran, Juz 7, (Cairo: Dar Hajar, cet. 1, 2001), h. 45-46
[22] Wahbah Zuhaili, Tafsir Al Munir fi Al ‘Aqidah wa Asy-Syari’ah wa Al-Manhaj, Juz 3, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 2003), h. 86
}الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌوَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ{
[26] Wahbah Zuhaili, Tafsir Al Munir fi Al ‘Aqidah wa Asy-Syari’ah wa Al-Manhaj, Juz 4, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 2003), h. 43
[29] Abi Ja’far Muhammad Ibn Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari: Jami’ Al-Bayan ‘an Tawil ai Al-Quran, Juz 8, (Cairo: Dar Hajar, cet. 1, 2001), h. 657-658
[31]Najis adalah sesuatu yang dianggap kotor oleh orang yang memiliki tabi’at yang selamat (baik) dan selalu menjaga diri darinya. Apabila pakaian terkena najis –seperti kotoran manusia dan kencing- maka harus dibersihkan.
[32] Diriwayatkan oleh imam An-Nasai, dari Usman Ibn Affan secara mauquf. Lihat: Abi ‘Abdirrahman Ahmad Ibn Syu’aib Ibn ‘Ali An-Nasai, Sunan An-Nasai, (Riyad: Maktabah Al-Ma’Arif, cet. 1, t.t), h. 849
[33] Diriwayatkan oleh Imam Al-Bazzar dari ‘Abdullah Ibn Umar secara marfu’. Lihat: Abi Qasim Mahmud Ibn ‘Umar Az-Zamakhsyari, Al-Kasyaf, Juz 2, (Riyad: Maktabah Obeikan, cet. 1, 1998), h. 289
[34] Oe. Rendra Widjaya, Visi Refolusi: Nyatakan Perang Terhadap Narkoba, (Bandung: Humaniora, cet. 1, 2004), h. 26
[36] Khamr yang dimaksud disini adalah jenis khamryang dikategorikan oleh Imam Abu Hanafi yaitu hanya terbatas untuk setiap perasaan anggur saja.
[40] Abi ‘Abdillah Muhammad Ibn Isma’il Al-Bukhari, Al-Jami’ Ash-Shahih Al-Musnad min Hadits Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamih, Juz 4, (Cairo: Al-Maktabah As-Salafiah, cet. 1, 1400 H), h. 246
[41] Wahbah Zuhaili, Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islami Wa Al-Qadhaya Al-Mu’ashirah, Juz 6, (Damaskus: Dar Al-Fikr, Damaskus, 2010). 150-151