PANDANGAN TOKOH EKONOMI MODERN TERHADAP BUNGA BANK

     Oleh: Nela Azizah, S.E.Sy., M.E. laziza111@gmail.com Dosen Prodi Ekonomi Syariah STAI Al-Ma’arif Ciamis     I.              PENDAHULUAN Bank merupakan suatu lembaga bisnis, dan sistem bunga menjadi suatu mekanisme bank untuk pengelolaan peredaran dana masyarakat. Anggota masyarakat yang memiliki dana, dapat – bahkan diimbau untuk – menitipkan dana mereka yang tidak digunkan pada bank untuk jangka waktu tertentu. Kemudian bank meminjamkan dana itu kepada anggota masyarakat lain yang membutuhkan dana untuk usaha dalam jangka waktu tertentu pula. Anggota masyarakat yang meminjam dana dari bank pada umumnya untuk dipergunakan sebagai modal usaha, bukan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif. Dan dia akan mendapat keuntungan dari usahanya yang dimodali oleh bank tersebut.[1] Pembahasan tentang bank mengalami banyak kontroversi terutama mengenai status hukum bunga bank, khususnya masyarakat muslim di seluruh dunia yang sering kali bertanya-tanya apakah bunga bank itu halal, haram ataukah subhat. Hal ini menjadi topik pemikiran bagi cendekiawan dan tokoh ekonomi modern dalam memecahkan status hukum bunga bank. II.           PANDANGAN TOKOH EKONOMI MODERN TERHADAP BUNGA BANK A.    Pengertian Bunga Bank Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bunga adalah balas jasa dengan penggunaan uang atau modal yang dibayar pada waktu disetujui yang  umumnya dinyatakan sebagai prosentase dari modal.[2] Bunga bank adalah tambahan yang diberikan oleh bank atas simpanan atau yang diambil oleh bank atas utang.  Bunga umumnya timbul dari sejumlah uang pokoknya, yang lazim disebut dengan istilah “kapital” atau “modal”[3] berupa uang. Dan bunga itu juga dapat disebut dengan istilah “rente” juga dikenal dengan “interest”.[4] Menurut Goedhart dalam Harahap, bunga atau rente itu adalah perbedaan nilai, tergantung pada perbedaan waktu yang berdasarkan atas perhitungan ekonomi.[5] Bunga bank dapat diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya.[6] Bunga juga dapat diartikan sebagai harga[7] kepada deposan (yang memiliki simpanan) dan debitur (nasabah yang memperoleh pinjaman) yang harus dibayar kepada bank. Sesungguhnya bunga telah dianggap penting demi keberhasilan pengoperasian sistem ekonomi yang ada bagi masyarakat. Tetapi Islam mempertimbangkan bunga itu sebagai kejahatan yang menyebarkan kesengsaraan dalam kehidupan.[8] B.     Macam-Macam Bunga Bank Dalam kegiatan perbankan ada 2 macam bunga yang diberlakukan kepada nasabahnya, yaitu: 1.      Bunga Simpanan (Funding) Adalah bunga yang diberikan sebagai rangsangan atau balas jasa bagi nasabah yang menyimpan uangnya di bank. Bunga simpanan merupakan harga yang harus dibayarkan bank kepada nasabahnya. Sebagai contoh: Jasa giro (Demand Deposit),[9] Bunga tabungan (Saving Deposit),[10] Bunga deposito (Time Deposit)[11] dan Rekening Koran (Current Account).[12] 2.      Bunga Pinjaman (Landing) Adalah bunga yang diberikan kepada para peminjam atau harga yang harus dibayar oleh nasabah peminjam kepada bank. Sebagai contoh  bunga kredit.[13] Kedua macam bunga ini merupakan komponen utama faktor biaya dan pendapatan bagi bank. Bunga simpanan merupakan biaya dana yang harus dikeluarkan kepada nasabah, sedangkan bunga pinjaman merupakan pendapatan yang diterima dari nasabah. C.    Pandangan Tokoh Ekonomi Modern Terhadap Bunga Bank Lembaga perbankan belum ada pada era ulama fiqh klasik. Sebab itulah  dalam literatur fiqh klasik tidak dijumpai pembahasan yang mengaitkan antara riba dan bunga perbankan. Bahasan bunga bank apakah termasuk riba atau tidak, baru ditemukan dalam berbagai literatur fiqh kontemporer dan dikaji oleh para ekonom modern, baik di Indonesia maupun dunia. 1.      Pandangan Tokoh Ekonomi Indonesia Terhadap Bunga Bank a.       Mohammad Hatta Moh. Hatta merupakan salah seorang tokoh ekonomi sekaligus Wakil Presiden pertama RI yang juga dijuluki Bapak Koperasi Indonesia. Beliau berpendapat bahwa bunga bank untuk kepentingan produktif, yakni orang meminjam uang bukan untuk dimakannya, tetapi dijadikan modal perusahaan yang nantinya akan menghasilkan keuntungan, adalah hak bagi bank yang meminjamkan itu untuk mendapat keuntungan dari uangnya yang dipergunakan orang tersebut. Dan bunga tersebut bukan riba, apabila untuk kepentingan konsumtif itu riba. Moh.Hatta menghukumi riba pada pinjaman konsumtif. Beliau menyatakan bahwa pinjaman yang tujuannya untuk produktif tidaklah haram tetapi kalau tujuannya untuk konsumtif adalah haram.[14] b.      Syafruddin Prawiranegara Beliau adalah pakar ekonomi yang juga mantan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia. Menurut beliau sistem perbankan modern yang menerapkan sistem bunga diperbolehkan, karena didalamnya tidak mengandung unsur eksploitasi yang zalim, oleh karenanya tidak perlu didirikan bank tanpa bunga.[15] c.       Muhammad Syafi`i Antonio Muhammad Syafi`i Antonio dikenal luas sebagai tokoh perbankan, ikon keuangan dan pakar ekonomi syariah di Indonesia. Dalam salah satu bukunya yang berjudul “Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik” beliau menjelaskan berbagai argumen naqli dan aqli hingga sampai pada kesimpulan bahwa praktik membungakan uang merupakan salah satu bentuk riba yang hukumnya haram.[16] d.      Agustianto Agustianto adalah salah seorang pakar ekonomi syariah Indonesia yang merupakan Anggota DSN MUI dan Ketua 1 Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia juga Dosen Pasca Sarjana Ekonomi dan Keuangan Syariah UI. Beliau sependapat dengan hasil penelitian ilmiah para pakar ekonomi Islam dunia yang telah menyimpulkan bahwa bunga dan riba benar-benar sama/identik. Bahkan bunga bank yang dipraktekkan saat ini jauh lebih zalim dari riba jahiliyah. Namun, sebagian kalangan masyarakat awam, masih menyangka bahwa persoalan hukum bunga bank masih khilafiyah. Yang dimaksudkan awam dalam hal ini adalah awam dalam ilmu ekonomi dan moneter Islam, meskipun mereka intelektual muslim dalam bidang agama. Padahal yang sebenarnya ialah para ulama yang ahli ilmu ekonomi telah menyatakan ijma’  tentang keharaman bunga bank. Hal itu tidak diragukan lagi.[17] e.       Ma’ruf Amin Beliau adalah Ketua Umum Dewan Pimpinan MUI Pusat yang menguasai ilmu ekonomi Islam. Beliau mengatakan bahwa dibolehkannya bunga dalam keadaan dharurat (keterpaksaan) karena waktu itu belum ada satu pun bank syari’ah, setelah ada bank syari’ah maka kedharuratan itu telah hilang. Beliau menafsirkan ad’afan muda’afah sebagai kondisi darurat. Ketika sekarang sudah ada perbankan syari’ah yang tidak menganut sistem bunga tetapi sistem bagi hasil maka bunga bank hukumnya haram, karena unsur darurat sudah tidak bisa diperlakukan lagi.[18] 2.      Pandangan Tokoh Ekonomi Dunia Terhadap Bunga Bank a.       Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqi Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqi merupakan salah seorang pakar ekonomi Islam dunia. Dalam salah satu bukunya “Muslim Economic Thinking” yang diterjemahkan oleh A.M Sefuddin dengan judul “Pemikiran Ekonomi Islam”, beliau berpendapat bahwa bunga bank merupakan salah satu sumber dari sekian banyak sumber keburukan ekonomi, seperti depresi dan monopoli.  Alasan-alasan yang digunakan Muhammad Netajullah Shiddiqi dalam mengharamkan bunga adalah sebagai berikut: 1)      Bunga bersifat menindas (zhalim) yang menyangkut pemerasan. Dalam pinjaman konsumtif seharusnya yang lemah (kekurangan) ditolong oleh yang kuat (mampu), tetapi dengan bunga pada awalnya orang lemah ditolong kemudian diharuskan membayar bunga, itu tidak ditolong, tetapi memeras. 2)      Bunga memindahkan kekayaan dari orang miskin (lemah) kepada orang kaya (kuat) yang kemudian dapat menciptaan ketidakseimbangan kekayaan. Ini bertentangan dengan kepentingan sosial dan berlawanan dengan kehendak Allah